Malam makin beranjak larut namun saya masih belum kunjung
bisa tidur. Saya lalu mengambil sebuah buku “berat” supaya kelopak mata turut
memberat tapi gagal. Mata saya masih terang. Saya lalu mengirimkan pesan pendek
kepada seorang penjual buku yang bukunya mau saya beli. Setelah ber-sms ria
dengannya, saya lalu membuka-buka beberapa laman di dunia maya, membaca
beberapa tulisan pendek, artikel, dan juga status teman-teman yang berseliweran
di linimasa.
Setelah mereply beberapa postingan, saya lalu berjalan ke
dapur. Perut saya agak lapar. Saya membuka tudung nasi di meja makan lalu
mengurungkan niat untuk mengambil sepotong pisang goreng yang sudah dingin sisa
berbuka tadi yang sedang tergolek pasrah di atas piring. Saya lalu mengambil
mangkok kaca hadiah dari membeli deterjen di rak piring dan menciduk empat
sendok makan kolak pisang buatan mamak yang ada di dalam toples plastik di atas meja. Puas menikmati kolak pisang, saya lalu beranjak ke kamar belakang yang jadi
ruang kerja mini saya selama ini. Menyalakan laptop, memutar lagu-lagunya Payung
Teduh dengan volume kecil, dan mulai menulis.
Ada sesuatu yang menggelitik pemikiran saya selama ini
tentang pola interaksi di media sosial selama ini. Semacam lintasan pikiran
yang sejak lama berkelebat di dalam kepala namun belum sempat saya tuliskan
secara panjang lebar.
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman saya di facebook menshare
postingan tentang sesuatu di linimasanya. Postingan itu sebenarnya sudah
diposting beberapa jam yang lalu, namun entah kenapa tiba-tiba aja nongol di
linimasa saya. Tergelitik dengan postingan tersebut, saya lalu melontarkan
sebuah pertanyaan dengan harapan supaya pertanyaan yang sederhana itu dijawab. Namun
ternyata hasilnya jauh dari harapan. Teman saya itu justru nulis ngalor-ngidul
dan melakukan postingan sporadis yang pada intinya makin menjauh dari topik
awal yang sedang saya pertanyakan. Salah satu argumentasi yang diberikan teman
saya itu kurang lebih garis besarnya seperti ini, “Facebook ini milik saya
pribadi. Mau saya posting apapun ya terserah saya, donk”.
Sepintas, postingan itu memang tidak salah. Saya pun
membenarkan pengakuan itu. Namun yang jadi titik kritisi saya, yang sampai
detik ini tak jua direspon oleh teman saya tersebut, adalah bahwa postingan di
akun pribadi kita di media sosial memang bagian dari privasi kita. Tapi saat
postingan yang sifatnya privat itu dilontarkan di ruang publik maka jangan
salahkan orang-orang yang tak sengaja melihatnya untuk kemudian memberikan respon
baik pro dan kontra dari postingan yang sifatnya privat itu tadi. Itulah sebabnya,
di era media sosial ini, ruang-ruang privat kita tak lagi memiliki sekat-sekat
dan karenanya interaksi kita, meski dibatasi ruang dan waktu, menjadi semakin
cair dan dekat. Seorang presiden bisa berinteraksi langsung dengan rakyatnya,
seorang wakil rakyat bisa berdiskusi langsung dengan calon konstituennya. Kasus
kemarahan Ibu Ani Yudhoyono terhadap postingan followernya di sebuah akun media
sosial tempo hari karena rasan-rasan
yang menurut beliau ndak ilok sebenarnya
tidak perlu terjadi jika kita benar-benar memahami pola interaksi dalam dunia
media sosial yang tak lagi bersekat. Saya tidak tahu kalau tema ini ada istilah
ilmiahnya. Anda yang paham soal-soal beginian mungkin bisa memberikan saya pencerahan.
Jadi, saat saya menuliskan sesuatu di akun media sosial
pribadi saya, maka mau tidak mau saya harus bersiap dengan respon yang
diberikan oleh teman-teman yang ada di friendlist saya. Atau dengan respon
siapapun yang memiliki akses terhadap postingan saya. Respon itu bisa beragam,
bisa pro, bisa kontra, bisa mencaci, bisa sumpah serapah, dan seabrek ekspresi
lainnya. Sebisa mungkin, saya akan mencoba untuk mereply semua postingan yang
mampir di status atau sharingan saya, meski kadang ada banyak juga yang tidak
saya respon karena situasi-situasi tertentu.
Yang ingin saya sampaikan adalah, saat kita telah memutuskan
untuk menjadi warga dalam sebuah ruang bernama media sosial dengan pola
interaksinya yang serba cair, maka kita perlu menyediakan ruang jiwa
seluas-luasnya untuk menampung aneka respon yang mampir ke beranda kita. Mengabaikan
hal ini justru menunjukkan jika kita adalah orang yang keras kepala, egois, dan
sulit menerima perbedaan. Atau bolehkah jika saya menyebutnya sebagai perilaku
intoleran?
Nyanyian jangkrik yang saling bersahutan menyapa indra
pendengaran saya di samping lagu-lagu Payung Teduh yang bernuansa syahdu. Pisang
goreng dingin di meja makan yang tadi saya abaikan tiba-tiba saja menggugah
selera saya untuk segera melahapnya. Sahur masih lama, tapi mata masih belum
jua mau terpejam. Tulisan di atas hanya semacam lintasan pikiran. Kalo ada yang
kurang berkenan dan ulasannya tidak tajam dan mengawang-awang maka saya mohon
maaf, namanya juga lintasan pikiran. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2014
0 celoteh:
Posting Komentar