Hujan yang baru saja menyelimuti kota Manado telah berangsur
mereda. Malam itu, sepulang dari Gramedia Manado, saya memutuskan untuk
men-stalking akun Facebook teman-teman
lama yang dulu sempat bersama, baik di masa sekolah, kuliah maupun bekerja,
melihat perkembangan dan kondisinya sekarang, lalu berpindah dari akun yang
satu ke akun yang lain ke teman-teman yang masih agak baru saya kenal. Suasana kamar hotel yang temaram membuat mata saya agak
mengantuk. Saya melirik ke arah teman sekamar saya yang sudah tertidur di kasur
empuknya.
Saya lalu beranjak sebentar untuk mengambil remote televisi
yang ada di meja kecil yang terletak di antara kedua tempat tidur dan menekan
salah satu tombolnya untuk mengecilkan suara televisi layar datar yang menempel
di dinding. Setelah itu saya kembali ke meja kerja mungil yang ada di pojok
kamar, merapihkan beberapa kertas yang berserak, menata buku-buku yang baru
saja saya beli di salah satu sudut meja, dan mulai menatap layar notebook
mungil berwarna cokelat milik istri yang sedang saya bawa dalam tugas di Manado
itu. Tangan kanan saya mengarahkan mouse ke sana dan kemari, mengklik ini dan
itu, berhenti sebentar untuk membaca, lalu mengklik lagi dan berpindah ke laman
yang lain.
Ada seorang teman SMP yang menampilkan foto liburannya di
luar negeri, ada teman SMA yang kini bekerja di Kementrian Luar Negeri dan
kerap mengupload foto kunjungan-kunjungannya ke beberapa negara yang selama ini
hanya saya ketahui lewat gambar dan cerita saja, ada teman-teman kolektor
sekaligus penjual buku yang juga saya stalking foto-fotonya, teman-teman
kolektor jersey, dan banyak lagi. Saya juga melihat akun teman-teman kuliah,
baik yang seangkatan, adik kelas, maupun kakak kelas, membaca perkembangan
hidup mereka: ada yang sedang kuliah di luar negeri, ada yang sedang
menyelesaikan masternya di sebuah universitas ternama, ada yang pangkatnya di
instansi ini melesat meninggalkan pangkat saya yang masih saja stagnan, ada
yang sukses dalam bisnisnya, dan ada yang kelihatannya sudah melakukan
pencapaian hidup tertentu secara spiritual. Melihat itu semua, saya turut
merasa berbahagia.
Saat berselancar di ruang maya itu, saya lalu mengaitkannya
dengan kondisi diri saya sendiri, saat ini, dan mulai bertanya-tanya kepada
diri saya sendiri: Apa yang sudah saya lakukan? Pencapaian apa yang sudah saya
raih dalam rentang umur ini? Dan pertanyaan-pertanyaan kontemplatif lainnya
yang membuat saya merenung lebih jauh. Setiap kita memang telah memilih jalan
hidup kita masing-masing dan karenanya kita harus mampu bertanggungjawab dengan
pilihan-pilihan yang telah kita buat. Pilihan itu tak sebatas tentang saya,
tapi juga terkait dengan hidup orang-orang yang dekat dengan saya, orang-orang
yang telah menggantungkan kaitan takdirnya dengan hidup saya. Hujan di luar
sana kembali menyapa bumi Manado yang berangsung sepi seiring malam yang telah larut. Butir-butir air yang dimuntahkan dari langit
mengetuk-ngetuk kaca kamar tempat saya tenggelam dalam renungan yang
menggelisahkan saya sebagai manusia yang masih berusaha keras melebarkan
jejaring ikhtiar demi menggapai-gapai impian yang tak kunjung tercapai di atas jalan hidup yang telah saya pilih ini. [wahidnugroho.com]
Manado, April 2014
0 celoteh:
Posting Komentar