Pasar Sentral, Luwuk, malam hari. Ramai, padat dengan
kendaraan. Seorang penjual nasi goreng sedang mengaduk-aduk wajan berukuran
besar tempat ia sedang meracik nasi gorengnya. Aroma tumisan bumbu yang berasa
pedas gurih mewarnai udara. Dari deretan warung konro, coto, dan nasi goreng,
saya membelok ke kanan tempat dimana keramaian semakin menjadi. Antrean
kendaraan tidak terelakkan saat memasuki jalan di depan Luwuk Shopping Mall.
Jalur dari SPBU ke kantor Dishub dipenuhi motor-motor yang terparkir rapi. Dua
sampai tiga malam sebelum Lebaran memang selalu menjadi momen ditutupnya jalan
antara SPBU Masjid Agung sampai dengan pertigaan Pasar Sentral untuk dijadikan
areal pasar kaget sehingga hanya menyisakan jalur dari Sentral ke Masjid Agung
saja. Saat malam H-2 Idul Fitri, kedua jalur itu biasanya sudah ditutup.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama, saya tidak tahu sejak kapan
persisnya.
Ketika sudah di depan pintu masuk areal Luwuk Shopping Mall,
mobil saya terhenti. Ada taksi (angkot) yang sedang menaikkan empat orang
penumpang persis di depan saya. Saya menunggu dengan sabar seraya melirik ke belakang
melalui kaca spion. Di belakang saya
kendaraan semakin mengular. Saya melihat kembali ke arah taksi kuning di depan.
Terjadi semacam kepanikan di dalam taksi itu. Ada kepulan asap dari bagian
mesinnya sehingga penumpang yang hampir memenuhi taksi itu berhamburan keluar.
Dari balik kaca, saya memerhatikan supir taksi yang sedang bersusah payah untuk
menjalankan mobilnya yang ternyata mati total. Deretan mobil dan motor di
belakang saya sudah gelisah. Suara klakson bersahut-sahutan. Dua orang tukang
ojek yang ada di dekat taksi itu memberi kode ke arah antrian kendaraan di
belakang saya agar tetap tenang. Saya sendiri hanya mengamati kemalangan yang
terjadi malam hari itu tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa agar taksi
kuning di depan saya itu segera hidup. Waktu berjalan lambat. Supir taksi itu
lalu keluar dari dalam mobilnya dan meminta beberapa tukang ojek yang mangkal
di dekat situ agar membantu mendorong mobilnya. Saya hanya bisa terpaku di
kursi dan merasa bersalah dengan ketidakberdayaan saya.
Sekitar lima menit kemudian, mobil itu akhirnya sampai ke
bagian jalan yang agak sedikit lapang sehingga saya dan kendaraan yang mengular
entah jumlahnya berapa di belakang saya itu berangsur berkurang. Dalam
perjalanan menuju Masjid Agung yang semakin dekat, saya berpikir tentang
kejadian barusan. Nasib malang memang tak bisa ditolak. Supir itu mungkin saja
sedang mengumpulkan uang demi menyambut Lebaran yang makin mendekat. Itulah
sebabnya ia masih berkutat mencari setoran di saat orang-orang lain sedang
asyik membelanjakan uangnya. Entah kenapa, saat saya melihat empat penumpang
itu naik ke taksinya, ada semacam rasa senang yang datang. Namun saat taksinya
mogok dan karenanya penumpang-penumpang yang sudah ada di dalam taksinya turun
semua, saya jadi ikut merasa getir. Bagaimana kalau saya berada di supir itu?
Masjid Agung sudah tampak. Saya mencari tempat parkir biasa
di sebelah tenggara menara. Beberapa motor tampak terparkir di situ. Saya
mengambil beberapa barang dan segera menuju ke lantai dua tempat saya
beri’tikaf malam ini. Kejadian taksi mogok dan gagalnya sang supir mendapatkan
rejeki tambahan malam itu masih terngiang-ngiang di kepala saya. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2014
0 celoteh:
Posting Komentar