Setelah membaca-baca kembali catatan tentang i’tikaf yang saya posting di blog ini tempo hari, saya jadi teringat dengan sesuatu yang awalnya ingin saya tulis tapi saya lupa untuk menuliskannya. Ada sebuah kejadian menarik ketika itu yang karenanya ingin saya catat supaya bisa kelak bisa diambil manfaatnya terutama bagi saya selaku seorang kepala keluarga yang masih belia ini. Saya ingin menulis tentang seseorang bernama Anwar.
Ustadz Anwar, demikian beliau biasa kami sapa, adalah orang Sidrap yang sudah lama merantau di Luwuk. Beliau saat ini bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai. Ustadz Anwar punya empat orang anak: 3 laki-laki dan 1 perempuan. Beliau sempat berkisah tentang jumlah anak-anaknya yang ‘seharusnya’ berjumlah tujuh. Namun takdir ternyata berkehendak lain ketika istrinya mengalami tiga kali keguguran. “Jadi kalau dihitung-hitung istri saya sudah hamil tujuh kali, tapi yang jadi empat dan yang tiga tidak jadi”, kisahnya kepada saya dalam sebuah kesempatan.
Apa yang menarik dari beliau sampai-sampai saya harus menuliskan tentang sosoknya di sini? Sebenarnya beliau sebagaimana laki-laki kebanyakan yang gemar beribadah, memiliki integritas tinggi, dan cinta dengan keluarganya. Beliau lama aktif di Hidayatullah dan pada akhir tahun 90’an bergabung dengan gerakan tarbiyah di Luwuk. Sosoknya yang kalem dan tidak banyak bicara membuat banyak orang menghormati beliau. Selain itu, beliau juga aktif sebagai ketua Yayasan Mitra Insan Madani yang membawahi 3 sekolah: PAUD IT, KBIT, dan SDIT Madani.
Selama saya tinggal di Luwuk dan mengikuti i’tikaf sejak 6 tahun yang lalu, beliau bisa dibilang satu-satunya peserta i’tikaf yang paling konsisten menjalaninya mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Hal ini dapat dilihat dari beragam “perabotan” yang dibawanya ke masjid seperti kasur, selimut, koper berisi pakaian dan seragam kerja, dan perlengkapan pribadi lainnya. Beliau juga kerap membawa anak-anaknya yang masih kecil untuk ikut beri’tikaf, termasuk istrinya, ibu Megawati, atau kerap kami sapa Ummu Nauval.
Pada i’tikaf tahun ini, beliau memboyong semua anak laki-lakinya untuk ikut i’tikaf 10 hari penuh. Anak-anak yang dulu saya lihat masih kecil-kecil sekarang sudah tampak dewasa. Ada Nauval yang tertua, Fadlan yang kedua, dan Royyan yang bungsu. Sementara Afifah baru ikut i’tikaf di 3 hari terakhir. Nauval si sulung baru lulus Aliyah Husnul Khatimah dan berencana melanjutkan studinya ke LIPIA. Kabarnya dia sedang mencari beasiswa ke Arab Saudi. Sedangkan Fadlan tahun ini baru akan masuk Aliyah di Husnul, sementara si bungsu Royan baru naik kelas 3 SDIT Madani Luwuk tahun ini.
Selama i’tikaf, saya kerap memerhatikan ketiga anak-anak itu dalam mengisi waktu mereka selama di masjid. Ketiganya anak yang pendiam dan tidak banyak bicara, persis seperti kedua ummi dan abinya yang juga pendiam. Ustadz Anwar berkata bahwa si bungsu Royan selalu membaca Al Qur’an 1 juz per hari, sementara kakak-kakaknya yang lain diberikan target yang lebih banyak termasuk menghafal. Maka tak heran, sebatas yang saya tahu, saya sering melihat ketiga saudara laki-laki itu bercengkerama dengan mushaf di tangannya. Selepas tarawih, Nauval dan Fadlan akan bertilawah. Selepas shubuh begitu juga. Waktu dhuha mereka akan membaca lagi dan menghafal. Pernah juga pada suatu sore saya melihat Fadlan sedang duduk di teras masjid sambil memegang mushaf di tangannya. Matanya menatap ke langit-langit sementara mulutnya komat-kamit. Rupa-rupanya sedang menghafal dia. Nauval pun begitu. Setelah shubuh, biasanya ketiga bersaudara itu akan duduk di dekat ‘bilik’ mereka di lantai dua. Nauval tampak bersandar di dinding, sementara Fadlan dan Royan saling berhadapan di atas kasur, ketiganya larut dalam bacaan Al Qur’an masing-masing.
Ketika menjelang sahur, Ustadz Anwar dan kedua putra tertuanya biasanya akan menyiapkan piring berisi nasi dan lauk pauk untuk sahur peserta i’tikaf. Jadi saat jama’ah shalat qiyamulail selesai menunaikan shalat witir, biasa sekitar pukul empat pagi, mereka tinggal menikmati menu sahur yang telah ‘dicacah jiwa’ itu tanpa harus repot-repot lagi mengambil nasi dan lauk pauknya. Saya kerap mengamati kiprah keluarga itu dari ‘bilik’ tempat saya beristirahat, melihat Fadlan sedang membawa bak berisi piring, gelas, dan sendok bersih yang baru saja dicuci, Nauval yang sedang menata baki tempat makanan, dan ustadz Anwar yang mengaduk-aduk kopi instan yang baru saja diseduhnya mengamati kedua putranya yang sedang bekerja itu.
Waktu benar-benar terasa begitu cepat berlalu. Memandangi anak-anak yang mendewasa itu, saya tersadar bahwa tugas saya ke depan akan sangat berat dalam mengopeni dan menserateni ketiga putri saya yang masih kecil-kecil ini. Rasa-rasanya, saya perlu banyak bertanya kepada para orangtua yang jauh lebih senior dari saya tentang bagaimana kiat-kiat mendidik anak agar mereka tak hanya memahami alasan diciptakannya mereka di dunia ini, tapi juga anak-anak yang, meminjam istilah Mohammad Fauzil Adhim, mengisi dunia ini dengan kalimat tauhid, laa ilaaha illallah muhammad ar rasuulullah.
Moga Allah mudahkan urusan ini. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2014
Senin, 04 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kalimat bahasa daerah seperti mengopeni dan menserateni tolong dikasih footnote artinya dalam bahasa Indonesia, Mas Wahid :)
BalasHapusSiapppp... makasih masukannya mase :D
BalasHapus