Entah apa redaksi yang tepat untuk menggambarkan emosi saya saat melihat kondisi klub kesayangan saya saat ini: Parma. Setelah menjalani musim-musim yang labil paska bangkrutnya penyokong dana terbesar klub ini, Parmalat, di medio awal tahun 2000an yang membuat klub ini kehilangan punggawa-punggawa terbaiknya. Kondisi itu bahkan menjadi lebih buruk ketika klub ini mengalami relegasi yang sangat pahit di musim 2007-2008. Pahit karena penentuan relegasi ketika itu terjadi di Stadion Ennio Tardini ketika Parma bertekuk lutut di tangan Internazionale yang ironisnya keluar sebagai scudetto musim ini. Padahal Parma baru saja berpindah kepemilikan dari Enrico Bondi kepada Tomasso Ghirardi, pengusaha lokal asal Brescia yang membeli 70% saham Parma pada tahun 2007 silam. Sebuah kado yang pahit bagi presiden baru yang begitu bersemangat itu.
Kabar relegasi Parma ketika itu begitu memilukan. Saya merenung di layar komputer saat memandangi skor akhir di Tardini dan melongok tabel klasemen yang sangat mengenaskan kala itu. Parma akhirnya terdegradasi. Delapan belas tahun petualangan klub ini di level tertinggi sepakbola Italia berakhir tragis. Raihan gelar demi gelar dan penampilan gemilang di medio awal 90an ketika klub ini baru promosi hingga akhirnya disebut-sebut sebagai Il Sete Magnifico, atau 7 klub papan atas Italia, karena performanya yang konsisten sepanjang musim seakan tak berarti. Parma, meski belum pernah meraih scudetto seri A, merupakan salah satu klub Italia tersukses dengan raihan 4 gelar Eropa-nya sepanjang berdirinya. Sebuah prestasi yang hanya bisa dikalahkan oleh Milan, Juventus, dan Internazionale di ranah Italia. Bahkan Lazio yang berada di bawahnya ‘baru’ meraih 2 gelar Eropa sepanjang sejarahnya. Dengan segenap kegemilangan yang dimilikinya, kabar memburuknya prestasi klub ini ibarat sebuah luka yang begitu menyakitkan.
Namun kabar buruk itu tidak berlangsung lama. Saat Parma menjalani musim yang konsisten di Seri B musim 2008-2009 dan akhirnya bertengger di urutan 2 klasemen akhir di bawah Bari, Parma akhirnya kembali menghirup udara kompetisi sepakbola tertinggi di Italia lagi. Keberhasilan Parma menjalani kawah candradimuka hanya dalam jangka waktu semusim seolah menjadi sinyal kebangkitan klub ini dalam menatap masa depannya. Meski sempat mengalami performa yang cukup baik sepanjang musim 2009-2010, penampilan Parma di musim-musim setelahnya tak lebih sekedar klub penggembira yang setia bertengger di papan tengah. Kebijakan transfer (Pietro) Leonardi, sang direktur olahraga, yang tidak populer dengan melepas pemain-pemain cemerlang dan kegemarannya menciduk pemain-pemain berstatus kepemilikan bersama dan ‘pelitnya’ presiden Ghirardi membeli pemain-pemain berkualitas di atas rata-rata menjadi salah satu sebab tidak konsistennya penampilan Parma sepanjang musim. Ditambah dengan lesunya kondisi sepakbola Italia pada lima atau enam tahun terakhir akibat adanya skandal pengaturan skor beberapa klub elit menjadi salah satu kambing hitam lainnya.
Di luar semua kekurangan yang ada pada klub ini, saya tetap setia membersamai perjalanannya dari masa ke masa. Meski pada medio 2004 sampai dengan 2006 saya tidak begitu mengikuti perkembangan klub ini dalam melalui masa krisisnya karena kesibukan kuliah dan berorganisasi, saya selalu mencari-cari berita tentang klub ini dari media cetak yang terbit di tanah air meski dengan porsi yang sangat sedikit, kalah dengan pemberitaan klub-klub besar Eropa dan pemain-pemainnya yang cemerlang. Akan tetapi, klub ini punya kebijakan yang unik terkait kepemilikan pemain-pemain mereka.
Seorang analis olahraga di Daily Mail, Martin Samuel, bahkan pernah berkomentar tentang kebijakan kepemilikan pemain Parma yang tak biasa ini. Ia berkata bahwa "Parma memang tidak punya banyak uang, tapi klub ini punya visi. Mereka mencari pemain-pemain baru yang masih muda dan menempatkannya di klub lain supaya mereka berkembang."
Klub-klub nursery itu menjadi destinasi para pemain muda Parma yang butuh pengalaman dan meningkatkan nilai jual mereka di bursa transfer pemain yang selalu dinamis sepanjang tahunnya.
Daily Mail mencatat bahwa ada 30 pemain Parma di skuad inti, 109 pemain lainnya berstatus pinjaman, 16 pemain lainnya "disekolahkan" di klub Lega Pro AS Gubbio, 22 pemain lainnya "digojlok" di ND Gorica yang dilatih oleh mantan pemain Parma, Luigi Apolloni, dan 44 orang pemain berstatus kepemilikan bersama dengan klub-klub lain. Sehingga jika ditotal, ada sekitar 221 orang pemain yang dimiliki oleh klub ini diluar pemain akademi mereka. Hal ini menjadikan 'prestasi' Giampaolo Pozzo yang memiliki empat buah klub Eropa yakni: Udinese, Granada, Watford, dan Rapid Bucharest, dan karenanya memiliki kebijakan kepemilikan pemain yang juga besar, seakan tak ada seujung kukunya prestasi duet Ghirardi dan Leonardi di Parma.
Musim 2013-2014 yang menjadi momen perayaan 100 tahun berdirinya klub ini, atau centenary, sebenarnya bisa menjadi musim yang sangat manis. Walaupun secara keseluruhan performa klub ini masih tidak stabil, namun diraihnya posisi 6 di klasemen akhir kompetisi menjadi penanda awal kebangkitan klub ini. Kemenangan di kandang atas Livorno pada pertengahan Mei 2014 dan hasil seri kontroversial yang diraih Torino di kandang Fiorentina menjadi penutup yang manis di musim itu: Parma lolos ke Europa League untuk kali pertama sejak kurang lebih tujuh musim terakhir. Sebuah ‘prestasi’ yang sangat menggembirakan di tengah pasang surutnya performa Parma belakangan ini.
Namun euforia lolosnya ke kompetisi Eropa itu tak berumur lama. Karena sekitar 10 hari kemudian, pada tanggal 29 Mei 2014, FIGC, badan sepakbola Italia, menyatakan bahwa kesertaan Parma dianulir karena klub itu mengalami permasalahan pembayaran pajak pemain. Jumlahnya sangat tidak material, ‘hanya’ 300.000 Euro. Sebuah jumlah yang akan membuat Christiano Ronaldo dan Lionel Messi tertawa terbahak-bahak karena saking kecilnya jika dibandingkan dengan pendapatan pekanan mereka.
Saya tidak begitu paham dengan sistem perpajakan di Italia. Hanya saja, keputusan yang sangat menggelikan itu, suka tidak suka, akhirnya diterima juga meski konsekuensinya sangat pahit: Tomasso Ghirardi, presiden visioner namun hemat belanja itu, memutuskan untuk mundur dari Parma sehari setelah FIGC mengeluarkan keputusan yang aneh bin ajaib dan konspiratif itu. Dan ada kabar yang jauh lebih pahit lagi daripada kabar itu: klub ini dinyatakan dijual oleh Ghirardi. Sebuah kabar duka kembali menyapa klub ini di ulang tahunnya yang hanya terjadi seratus tahun sekali. Sebagai fans layar kaca klub ini, saya pun turut merasakan kesedihan yang sama dengan semua fans Parma lainnya yang ada di seantero jagat raya ini.
Meskipun pahit, Parma tetap memperjuangkan haknya agar bisa tampil di Europa League musim 2014-2015 mulai dari mengajukan banding kepada FIGC dan melanjutkannya ke Court of Arbitration for Sport (CAS) di Lausanne, Swiss. Sayangnya, keputusan finalnya masih tetap sama: Parma gagal tampil di Eropa. UEFA pun menolak upaya apapun yang dilakukan Parma karena menilai keputusan yang dibuat oleh FIGC sudah final. Hal ini ditandai dengan pertandingan babak ke 3 pertama yang dijalankan oleh Torino, yang telah ‘merebut’ kursi Europa League Parma musim ini, saat membantai klub Swedia Brommapojkarna 3-0 di kandang mereka sendiri pada tanggal 31 Juli 2014 silam.
Walau apapun yang terjadi, saya tetap bangga dengan klub ini, perjuangan mereka yang tak kenal lelah sepanjang musim centenary ini. Meski harus saya akui bahwa tak jarang saya mengkritisi permainan mereka dalam beberapa pertandingan, atau mutung karena rentetan hasil buruk yang diraih klub ini dalam pertandingan melawan klub-klub yang secara statistik mudah dikalahkan, dan alasan-alasan lainnya. Apapun itu, saya tetaplah seorang suporter layar kaca yang antusias saat melihat klub ini bertanding, panik ketika klub ini tertinggal, tegang saat klub ini unggul tipis atau mampu mengejar ketertinggalannya di menit-menit akhir, bahagia di saat klub ini menang atau terhindar dari kekalahan, dan pastinya, sedih ketika klub ini kalah, tampil buruk, dan dirugikan!
Inilah klub yang meski tak pernah saya lihat langsung pertandingannya di stadion kebanggan mereka Ennio Tardini, tak pernah saya temui langsung pemain-pemainnya, namun kerap menghadirkan emosi tersendiri dan karenanya turut mewarnai perjalanan hidup saya sebagai manusia. Ucapan ini mungkin akan terasa klise, tapi saya bangga telah menjadi bagian dari pendukung klub ini: Parma FC, sejak 18 tahun silam sampai saat ini. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Agustus 2014
0 celoteh:
Posting Komentar