Shalat Jum’at di Masjid Ar Rahman, BTN Muspratama, baru saja selesai. Setelah berdzikir dan bersalam-salaman, imam shalat, pak Saleh Daim, mengambil mik dan menyampaikan beberapa pengumuman. Di antaranya adalah meminta kepada para jamaah Jum’at agar jangan dulu pulang setelah shalat sunnah karena ada beberapa hal yang ingin dibicarakan terkait pembentukan pengurus masjid.
Beberapa jama’ah menuruti permintaan pak Saleh sementara sebagian yang lain pulang. Saya duduk merapat di tembok dan mengamati arus jama’ah yang berangsur meninggalkan masjid. Saya melihat wajah-wajah familiar yang tetap bertahan di masjid dan mengobrol di sudut belakang. Sebagian lainnya bersandar pada sisi utara dan selatan masjid dan sebagian lainnya duduk bergerombol di dekat tiang.
Setelah semua jama’ah dirasa telah selesai shalat sunnah, pak Saleh angkat bicara. Inti penyampaiannya adalah bahwa kepengurusan masjid Ar Rahman selama ini tidak jelas sehingga berakibat pada ketidakjelasan program. Oleh karenanya, beliau berinisiatif untuk meminta pendapat kepada jama’ah tentang kepengurusan masjid yang baru. Beberapa poin yang hendak dibahas adalah tentang ketua takmir masjid, posisi imam, dan posisi-posisi lain seperti bidang pembangunan masjid, perlengkapan, penanggungjawab remaja masjid, dan bidang pengembangan dakwah.
Memang, selama nyaris dua tahun tinggal di Muspratama, masjid ini tampak seperti tak terurus. Kegiatannya tidak jelas, kepengurusannya lebih tidak jelas. Saya kerap ngobrol dengan pak Sofyan, pak Utin, pak Kusmono, dan pak Saleh perihal keprihatinan saya terhadap kondisi anak-anak dan remaja di lingkungan masjid yang tidak terkelola dengan baik. Kami berempat, dan belakangan ditambah dengan pak Basri dan pak Heri, kerap berbincang tentang kegiatan-kegiatan dan rencana-rencana pengembangan masjid ini agar semakin ramai dan makmur. Jum’at (8/8) kemarin adalah klimaksnya.
Ketika pak Saleh selesai berbicara, meski sempat diinterupsi sebentar oleh Imam Masjid yang lama, tete Haji A.D. Lahay, dan karenanya om Peki ‘merebut’ mik dari lelaki paling sepuh di komplek ini tersebut sambil bercanda, proses musyawarah pun dilanjutkan. Saya menghitung ada sekitar 26 lelaki, termasuk anak-anak, yang ada di masjid ini dan ikut bermusyawarah.
Hasil musyawarah pun akhirnya keluar. Pembina dan pelindung, well, ini posisi yang sudah saklek dipegang oleh pejabat setempat dan para tetua komplek seperti pak Ali yang kepala lingkungan dan tete Haji A.D. Lahay yang imam lama. Ketua takmir yang baru diamanahi kepada pak Sofyan. Imam utama dipegang oleh pak Saleh Daim S.Ag., imam ke dua oleh Heri van Gobel, dan imam ke tiga dipegang oleh Muzni Labagendong atau biasa kami panggil pak Utin. Saya sempat didorong untuk menjadi imam ke tiga oleh pak Sofyan dan pak Heri, tapi pak Saleh tampaknya punya rencana lain untuk saya. “Pak Wahid di bidang pengembangan dakwah saja karena beliau mengelola taman bacaan dan punya banyak ide,” ujar beliau. Ah, saya jadi malu dibilang seperti itu. Tapi saya tidak memprotes keputusan itu dan menikmati proses yang tengah berlangsung tersebut. Setelah mengukur-ukur diri, saya bisa jadi jama’ah termuda yang ikut musyawarah selain empat anak remaja usia 12-15 tahun yang sedang berkerumun di pojok belakang.
Nama-nama lainnya berurutan muncul. Pak Zulhardi jadi penanggungjawab remaja masjid, pak Andi bagian perlengkapan, om Peki di bagian pembangunan, pak Basri bendahara dan pak Kus jadi sekretaris. Yang mengejutkan, istri saya ditunjuk sebagai penanggungjawab muslimat. Saya sempat terkejut dan menyampaikan keberatan karena ada beberapa nama yang lebih senior dan lebih pantas, namun pak Soleh, sang inisiator, bergeming dengan keputusannya. Saya akhirnya ikut dengan keputusan jamaah.
Saat struktur kepengurusan yang baru sudah ditetapkan dan jamaah yang lain pulang. Saya, pak Saleh, pak Heri, pak Sofyan, pak Basri, om Peki, dan tete Haji masih berkumpul di depan mimbar untuk membicarakan hal-hal teknis terkait Surat Keputusan dari Lurah Kilongan Permai dan tetek-bengek lainnya. Di sela-sela obrolan, pak Saleh berseloroh, “Pak Wahid meski di-SK tidak jadi imam, tapi saya harap tetap sudi mengimami jamaah.” Saya menunjuk ke arah pak Heri dan nyeletuk dengan nada guyon, “Tenang, sudah ada imam Masjidil Haram di sebelah bapak itu.” Kami semua tertawa.
Alhamdulillah, senang rasanya kalau masjid ini bisa dimakmurkan. Saya sendiri awalnya ditunjuk sebagai imam ke – err, entah ke dua atau ke tiga – di Masjid Al Ukhuwwah, Tanjung. Dengan jarak yang sangat jauh antara Kilongan-Tanjung, tidak memungkinkan saya bisa rutin shalat di sana, meski sesekali saya shalat di masjid Tanjung dan jadi imam shalat-shalat sirr dan Maghrib. Tidak ditunjuknya saya secara formal sebagai imam di Masjid Ar Rahman Muspratama ini tetapi sebagai penanggungjawab bagian pengembangan dakwah juga menyenangkan saya. Karena ke depannya saya diberikan keleluasaan untuk menyusun program-program Hari Besar Islam dan kegiatan-kegiatan masjid lainnya seperti TPA dan tabligh-tabligh. Sudah ada beberapa rencana yang tergambar di kepala saya dan sebagiannya sudah saya tuliskan di notes handphone.
Namun meski saya tidak mendapatkan ‘posisi’ apapun di kepengurusan masjid, saya insya Allah akan siap berkontribusi, apalagi jika kontribusi itu ber-impact kepada kebaikan dan produktifitas masyarakat. Saat saya sampaikan hasil musyawarah tadi siang kepada istri, ia awalnya merasa keberatan dengan peran barunya. Namun saya membesarkan hatinya dan berkata bahwa ini adalah peluang dakwah yang sangat bagus dan potensi besar untuk mewarnai masyarakat dengan spirit keislaman yang utuh. Bisikan yang mengendurkan kami seperti "Ah, kamu masih warga baru", atau "Duh, kamu ini masih terlalu muda untuk peran itu" harus kami buang jauh-jauh. Ini peluang kontribusi yang sangat baik sekali.
Apapun itu, semoga Allah mudahkan kami agar dapat mengemban amanah baru ini dengan sebaik-baiknya dan meluruskan niat kami selurus-lurusnya. Aamiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2014
0 celoteh:
Posting Komentar