Pak Qomari, 48 tahun, sedang menderita sakit paru-paru basah sejak hari ke 3 Ramadhan, akunya. Saya sendiri baru tahu kabar tersebut justru pada H+4 Idul Fitri dari pak Sinung yang mengabari saya tadi siang. “Ente ditanyain Pak Qomari, tuh” ujar pak Sinung di seberang telepon. Saya lalu berjanji akan berkunjung ke rumah pak Qomari malam ini.
Saat mengetahui kabar sakitnya beliau saya langsung mengingat-ingat, perasaan belum ada informasi dari teman-teman perihal kabar ini. Atau mungkin pernah ada yang mengabari via grup whatsapp tapi saya tidak membacanya. Padahal saya sempat rasan-rasan tentang pak Qomari waktu i’tikaf kemarin. Saya bertanya ke mas Ali sekitar H-3 lebaran perihal tidak nongolnya pak Qomari di acara i’tikaf tahun ini. Mas Ali menjawab bahwa “Mungkin beliau sedang kurang sehat” dan tidak menyebut-nyebut bahwa pak Qomari sempat masuk rumah sakit selama 10 hari. Pun teman-teman peserta i’tikaf yang lain juga tidak mengabari saya perihal sakitnya beliau. Mendengar penuturan pak Sinung bahwa nama saya disebut-sebut pak Qomari tadi siang saya jadi merasa tidak enak hati juga, karena bagaimanapun saya belum sempat menjenguk beliau.
Maka selesai shalat Maghrib di masjid Pancasila, saya mengurungkan niat untuk berkunjung ke rumah seseorang yang sedianya akan saya datangi waktu itu dan langsung mengajak istri naik ke STM dengan mengendarai motor. Anak-anak saya titipkan kepada ibu mertua dan berjanji bahwa kepergian kami tidak akan terlalu lama.
Sampai di rumah pak Qomari, saya mendatangi beliau yang terbaring lemah di dalam kamarnya yang remang-remang. Selang infus menancap di pergelangan tangannya yang tampak mengurus. Suaranya perlahan dan terdengar tidak semangat. Ah, jadi teringat saat almarhum bapak saya sakit dulu.
Saya lalu mengobrol sejenak dengan beliau, menanyakan kronologis sakitnya, sampai ke soal kabar anak-anaknya. Beliau menjawab dengan suaranya yang lemah dan saya mencoba untuk mencairkan suasana dengan bahan obrolan yang lain. Saya juga meminta maaf karena baru sempat menjenguknya dengan alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Beliau memaklumi alasan saya. Saya lalu minta diri sebentar dan kembali ke ruang tamu dimana istri saya dan istri pak Qomari sedang berbincang. Sekitar lima belas menit saya, istri, dan istri pak Qomari berbincang tentang beberapa hal, termasuk perkembangan anak-anak beliau yang sudah besar, dan obrolan ringan lainnya. Saat hendak pamit pulang, saya kembali menemui pak Qomari di kamarnya dan menitipkan sesuatu padanya seraya mendoakan agar beliau segera sembuh dan kembali dapat beraktivitas seperti sedia kala. Beliau mengucapkan terima kasih dan saya serta istri berpamitan setelahnya.
Pamit dari rumah pak Qomari, istri saya menawari saya untuk singgah sebentar di rumah Ummu Rahman. “Mumpung lagi di sini, bi” katanya. Saya memenuhi tawaran itu dan membelok ke sebuah gang yang berada tepat di bawah gang rumah pak Qomari berada. Setelah memarkir motor, saya dan istri menguluk salam dan tak lama kemudian, Yasin, anak ke 3 dari pak Sinung dan Ummu Rahman keluar. Melihat saya dan istri, ia kembali masuk ke dalam dan memanggil abi dan umminya keluar. Oh iya, Ummu Rahman ini nama aslinya Sri Atun. Beliau adalah caleg PKS yang berhasil terpilih sebagai anggota legislatif DPRD Provinsi Sulawesi Tengah untuk masa kerja 2014-2019. Ibu Sri Atun adalah sosok muslimah yang kalem dan sederhana. Terpilihnya beliau menjadi anggota legislatif provinsi sebenarnya cukup mengejutkan juga karena boleh dibilang elektabilitasnya yang masih jauh dari menggembirakan. Beruntung beliau memiliki suami yang cukup sregep dan sigap sehingga akhirnya suara beliau memenuhi syarat untuk terpilih sebagai wakil rakyat lima tahun mendatang.
Selama nyaris satu jam kami berbincang tentang banyak hal: tentang anak-anak, tentang pekerjaan, tentang daerah, tentang amanah baru di dewan, tentang ini dan itu, sekaligus bertukar pikiran juga. Ketika hendak pulang, kami dibungkusi dua buah teh kotak dan sebungkus kue kering warna-warni untuk dibawa pulang. “Untuk anak-anak”, ujarnya. Saat saya dan istri hendak pamit pulang, ternyata teman saya yang bernama Usman Iba bersama istri dan anak-anaknya datang.
Ketika motor yang saya kendarai masuk ke lorong tempat rumah mertua, saya melihat ada keramaian di rumah Abang. Abang ini adalah orang Padang yang rumahnya ada di depan rumah mertua. Saat saya memarkir motor di pelataran rumahnya Mamblo, saya melihat beberapa orang sedang memapah Abang yang duduk lemas di kursi rotannya. Saya bertanya kepada orang-orang yang ada di situ apa gerangan yang terjadi kepada beliau. Jawaban yang saya dapatkan adalah bahwa beliau baru saja pulang dari perawatan di Makassar dan sekarang sakitnya kembali kambuh. Sakit apa? Saya tidak tahu. Katanya sih komplikasi. Tapi komplikasi apa saya tidak mendapat kabarnya secara jelas karena semuanya berlangsung dengan sangat cepat ketika rombongan yang memapah Abang langsung berjalan ke ujung lorong. Rijal, sang supir taksi tetangga mertua, sudah menunggu dengan mobil taksinya yang berwarna kuning di depan sana.
Akhir-akhir ini memang ada banyak kabar kurang mengenakkan dari beberapa kenalan saya. Mulai dari tetangga saya sendiri yang sakit, teman saya yang sakit, sampai tetangga mertua saya ada juga yang sakit. Melihat kabar-kabar yang tidak mengenakkan itu, saya berharap agar nikmat sehat ini bisa senantiasa saya nikmati sampai akhir hayat dikandung badan. Itu artinya, timbunan lemak yang menempel di perut dan bagian tubuh saya lainnya harus segera dieliminasi. Saya juga harus memulai pola hidup sehat, karena bagaimanapun, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita di masa yang akan datang.
Semoga kesehatan selalu berlimpah untuk kita semua. Amin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2014
0 celoteh:
Posting Komentar