Saya memandangi wajah putri sulung saya, Azka, pada suatu siang saat saya menjemputnya pulang dari sekolahnya. Ia mengenakan seragam motif kotak-kotak berwarna hijau. Tingginya sudah sepinggang saya. Sebagian rambut curly-nya menyembul dari balik jilbab hijaunya. Ia menyalami tangan ibu gurunya yang berjaga di gerbang, melihat ke arah saya dan berjalan cepat-cepat. Saya mengamati wajahnya lekat-lekat. Ia tampak malu-malu karenanya. “Abi kenapa liat mbak Azka begitu?” tanyanya kenes. Saya tidak menjawab pertanyaannya dan tetap memandanginya, menyentuh pipinya yang tak lagi segembil dulu, mengusap-usap kepalanya yang terbalut jilbab, memerhatikan seragamnya yang agak kotor, juga memandangi tas dan sepatunya.
Tangan kami saling bergandengan saat kami berjalan menuju motor yang saya parkir di satu sudut teduh masjid Al Ukhuwah, Tanjung. Sepanjang jalan ia mengoceh dengan suaranya yang jernih. Saya lebih banyak mendengar. Ia menceritakan tentang teman-temannya, guru-gurunya, pelajaran yang didapatkannya, dan lain-lain. Sepanjang perjalanan, saya bertanya tentang cerita-ceritanya barusan. Siapa nama teman-temannya, siapa nama gurunya, tadi bermain apa saja, sambil memandangi wajahnya dari kaca spion yang sengaja saya pantulkan ke arahnya. Ujung jilbab mungilnya melambai-lambai ditiup angin. Suara gemuruh ombak yang memecah bersaing dengan teriakan putri saya saat menceritakan petualangannya hari itu.
Terkadang saat tenggelam dalam cerita-ceritanya, saya kerap membayangkan masa depan anak ini kelak. Saya tidak tahu seperti apa masa depannya, bahkan saya tidak tahu masa depan saya seperti apa. Apakah ia akan memahami hakikat penciptaannya di dunia? Apakah ia bisa mengaji qur’an dengan fasih, menghafal ayat-ayatnya dengan sempurna, menjalankan ibadah dengan sebenar-benarnya?
Pikiran saya semakin jauh melayang menembus batas cakrawala. Suara debur ombak telah lepas dan berganti dengan riuh-rendah lalu lintas saat saya memasuki jalan Urip Sumoharjo. Saya masih memikirkan tentang masa depan anak ini, masa depan anak-anak saya. Bagaimana pendidikannya, siapa saja teman-temannya, buku apa saja yang akan dia baca dan terkesan karenanya, termasuk dengan siapa dia akan menikah.
Saat memandangi wajah cilik dan menyimak uraian kata-katanya yang belum sempurna dan membayangkan masa depannya yang masih buram, ada semacam gejolak misterius yang menyusup di sela-sela jiwa. Ah, beginikah kegelisahan orangtua saat membersamai pertumbuhan anaknya?
Di sepanjang perjalanan ke rumah, saya kerap melirik ke arah wajah putri saya itu seraya menitipkan selaksa doa baginya:
“Ya Rabb, anugerahkanlah kami isteri-isteri dan keturunan kami yang menyenangkan hati, dan jadikan kami imam bagi orang yang bertakwa.”
“Ya Rabb, jadikanlah aku dan anak keturunanku orang yang menegakkan shalat. Ya Rabb kami, terimalah doa kami.”
Aamiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2014
Selasa, 05 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar