Saya mulai belajar membaca Al Qur’an sejak kecil. Mungkin mulai umur lima atau menuju enam tahun. Saya kurang begitu inget. Saya ingat waktu masih tinggal di Petukangan dulu, setiap habis maghrib saya akan berjalan ke rumah Mas Wage yang gak terlalu jauh dari rumah, melewati jalan-jalan yang gelap dan berdebu sambil menenteng Al Qur’an besar berkover emas. Saat rumahnya sudah tampak, saya lalu masuk melalui sebuah gerbang kayu dan halaman yang ditumbuhi tanaman-tanaman, menguluk salam, dan bergabung dengan anak-anak sebaya yang sudah berkumpul di teras rumah yang luas. Sekitar dua tahun saya belajar ngaji di rumah mas Wage dan sayalah ‘siswa’ pertama yang berhasil mengkhatamkan juz amma. Dahulu, kalau kita sudah hafal juz amma maka akan diadakan syukuran kecil-kecilan. Maka ketika saya menyampaikan kepada mamak bahwa saya sudah khatam juz amma, beberapa hari kemudian digelarlah syukuran sederhana. Nasi kuning tumpeng dengan lauk sekadarnya menjadi menu pengajian malam itu. Sayang, saya tidak begitu ingat kapan tepatnya saya khatam ketika itu.
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kabar kalo mas Wage, guru mengaji saya waktu di petukangan itu, sudah meninggal karena sakit. Waktu mendengar kabar itu, saya merasa sedih dan begitu kehilangan, sekaligus menyesal karena tidak bisa menghantarkan beliau ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Saya merapalkan doa agar ilmu yang diberikannya kepada saya bisa menjadi amal jariyah baginya di alam kubur sana.
Saya juga pernah ikut TPA di, ah, saya lupa namanya, dan sempet ikut berbagai lomba. Waktu pindah ke Jurangmangu, saya melanjutkan pelajaran mengaji ke TPA Nurul Ikhlas. Saya juga sempat mengaji secara personal kepada guru-guru TPA yang rumahnya ada di belakang komplek pajak. Biasanya saya akan berjalan pada hari minggu pagi ke rumah bu Mus untuk belajar ngaji. Tapi itu nggak berlangsung lama.
Waktu saya kecil dulu, almarhum bapak punya aturan yakni dilarang nonton tv setelah maghrib. Meski awalnya terasa menyebalkan, karena film favorit saya, Dragonball, diputar pada waktu-waktu itu, ternyata setelah dipikir-pikir peraturan itu sangat bermanfaat buat saya di kemudian hari. Karena pada waktu-waktu itu, saya biasanya akan mengaji di dalam kamar. Berbekal pancaran sinar lampu baca yang tertempel di kusen jendela, saya mematikan lampu utama kamar dan mulai membaca dengan suara keras. Saking kerasnya suara saya, si mbah yang rumahnya ada di seberang rumah saya biasanya akan mendengar suara mengaji saya dan berkata, “Si Nuk ini kalau ngaji suaranya nyaring banget, sampe-sampe suaranya kedengeran di rumahku”.
Ketika SMP, saya belajar mengaji bersama Mak Eteh yang rumahnya nggak jauh dari rumah saya. Bersama beliau, saya diajari hukum-hukum tajwid yang sebelumnya belum pernah saya dapatkan di bangku TPA seperti hukum-hukum mad yang jumlahnya bejibun itu, hukum isymam, imalah, ghunnah, hukum mim, dan lain-lain. Saya inget banget waktu membaca ayat demi ayat di hadapan perempuan paruh baya yang kini sudah meninggal itu, biasa beliau akan mengoreksi bacaan-bacaan saya yang salah. “Itu mad ini, panjangnya sekian harkat, ulangi”, atau “Itu ghunnahnya diperjelas”, atau “Ikhfanya bukan dengung tapi samar”, dan “Kalau di depan mad asli ada tasydid panjangnya sekian harkat dan namanya mad ini itu” adalah kata-kata beliau yang masih saya ingat sampai sekarang. Saya biasanya mengaji pagi hari bila saya masuk siang, dan malam setelah maghrib bila saya masuk pagi. Semoga apa yang telah beliau ajarkan kepada saya bisa menjadi amal jariyah baginya di alam kubur. Amin.
Saya juga sempet ikutan jama’ah tabligh sejak SMP kelas 2 dan berlanjut sampai saya SMA kelas 2. Saya ikut acara-acara khuruj 3 hari mereka pada akhir pekan (biasa pada hari Sabtu dan Ahad) dan memerhatikan wajah-wajah teduh yang dibalut dengan pakaian lusuh nan sederhana itu, bagaimana semangat mereka dalam mengamalkan sunnah-sunnah Nabi dan, pastinya, kemampuan membaca Al Qur’an mereka. Memang ada banyak yang bacaan Al Qur’annya tidak sebagus yang saya kira, namun satu dua dari mereka memang memiliki kualitas bacaan Al Qur’an yang bagus. Saya kenal dengan bapak muda, saya lupa namanya, yang suaranya merdu banget. Ketika beliau mengaji, biasa saya akan mendekat dan menyimak bacaannya yang merdu. Padahal sehari-harinya beliau “cuma” tukang sayur dan kerap berkeliling setiap pagi dengan pakaian lusuh dan topi rimbanya. Saya pernah bertanya kepada beliau, gimana caranya bisa punya suara sebagus itu dan beliau cuma njawab dengan senyuman. Maklum, yang nanya cuman anak ingusan kemarin sore, hehe.
Saat SMA, saya berkenalan dengan gerakan tarbiyah dan ikut halaqah mentoring waktu kelas 2. Murabbi pertama saya bernama kak Agus. Beliau juga alumni SMA tempat saya bersekolah waktu itu, SMA 90. Dari beliau, saya disemangati untuk menghafalkan Al Qur’an. Dan jadilah surat An Naba (juz 30) menjadi surat pertama yang ditugasi beliau untuk dihafal. Di antara teman-teman sekelompok, saya orang pertama yang berhasil menghafalkan surat sepanjang 40 ayat itu. Tak cukup dengan surat An Naba, saya lalu menyuruh diri saya sendiri untuk menghafalkan surat-surat lainnya yang ada di juz 30. An Naziat, Abasa, dan surat-surat lainnya. Hingga akhirnya, waktu lulus SMA saya sudah khatam menghafalkan juz 30. Pada masa-masa ini saya juga mengumpulkan kaset-kaset murattal seperti Syaikh Sudais, Syaikh Al Ghamidi, Syaikh Al Mathrud, Syaikh Hani Ar Rifai, Syaikh Mishary Al Afasy, Syaikh Abu Bakar Asy Syathiri, dan lain-lain, yang saya beli sendiri di Fatahillah STAN dan Fatahillah di Pondok Safari (dulu toko Fatahillah ada di Ponsaf soale hehe).
Karena kaset murattal saya banyak, maka saya putarlah kaset-kaset itu di rumah ketika senggang. Saya juga sering meminjam walkman dari tetangga untuk mendengarkan murattal-murattal dari para pemilik suara emas itu. Saya lalu coba meniru ‘lagu’ yang ada di kaset-kaset itu dengan cara saya sendiri. Syaikh Hani dan Syaikh Sudais yang bersuara tinggi, Syaikh Al Mathrud yang bersuara rendah, Syaikh Alafasy yang nadanya rada sedikit minor, dan Syaikh Syuraim yang seperti suara orang menggumam. Awalnya, gaya Syaikh Sudais yang coba saya ikuti. Namun seiring berjalannya waktu, saya lebih nyaman mengikuti gayanya Syaikh Al Mathrud. Setelah itu, bila ada uang lebih, selain untuk dibelikan buku, saya akan membeli kaset-kaset murattal yang dulu seharga Rp. 7.000 itu dan saya jejerkan di lemari buku..
Lepas SMA, aktivitas tarbiyah saya masih berlanjut, meski nggak ikut halaqoh di kampus, dan kegemaran saya menghafalkan Al Qur’an pun saya teruskan. Saat tingkat satu, jumlah hafalan saya bertambah jadi dua juz. Saya lalu menghafalkan surat-surat lain yang saya suka seperti Ar Rahman, Al Waqiah, Ash Shaff, 10 ayat pertama Al Anfaal, 20 ayat terakhir Ali Imran, beberapa ayat dari Surat Ibrahim, beberapa ayat dari surat Al Baqarah, dan surat-surat lain. Waktu itu, cara saya menghafal sederhana saja tanpa metode apapun. Saya biasa akan menghafal ayat baru sehabis subuh, sekaligus mengulang hafalan hari sebelumnya, dan akan mengulang hafalan-hafalan itu saat shalat Sunnah seperti Dhuha, Rawatib, dan juga di Tahajud. Saya paling suka mengulang-ulang hafalan saat Tahajud. Ketika itu saya shalat tahajud di kamar belakang dan mulai shalat dengan bacaan jahr. Saya merasakan sekali manfaat mengulang hafalan saat shalat tahajud itu karena surat-surat yang kerap saya baca waktu itu semua masih bertahan sampai sekarang. Surat-surat yang jarang saya ulang waktu tahajud kebanyakan lebih mudah hilang ketimbang yang sering. Maka jadilah 11 rakaat tahajud itu saya jalankan sejak pukul 3 pagi sampai menjelang subuh.
Oh iya, sarana lainnya yang saya manfaatkan untuk mengulang hafalan saya yang masih belum seberapa itu adalah dengan memberanikan diri menjadi imam di Masjid Baitul Maal (MBM) kampus STAN. Di masjid itu ada semacam aturan tak tertulis yang menghendaki bacaan imamnya di kala shalat jahr dengan standar yang agak panjang ketimbang masjid-masjid kebanyakan. Seorang dosen yang pernah bertemu dengan saya di masjid itu seusai maghrib bahkan pernah meminta saya untuk menyampaikan kepada takmir masjid agar durasi bacaan saat shalat maghrib jangan terlalu panjang. Rasa-rasanya permintaan sang dosen muda yang sering saya lihat shalat di MBM itu ada benarnya karena shalat maghrib yang barusan kami tunaikan berlangsung dalam durasi yang cukup lama karena sang imam membaca An Naba secara full di rakaat pertama dan separuh An Naziat di rakaat ke dua. Menjadi imam shalat malam di MBM juga pernah saya lakukan dengan membaca surat-surat dari juz 30 dan 29 ketika i’tikaf di penghujung ramadhan sudah mendekati malam-malam terakhir dan jumlah peserta i’tikaf makin berkurang karena banyak yang pulang kampung. Oh iya, di MBM, ada 2 imam yang jadi favorit saya: Ustadz Sunarso dan Akhuna Fajri yang orang Palembang. Keduanya punya kualitas suara yang sangat bagus dan jumlah hafalan yang banyak. Diam-diam, saya jadi pengagum rahasia mereka dan berjanji kepada diri sendiri agar saya bisa jadi seperti mereka. Selain di MBM, saya juga kerap ditunjuk memimpin shalat ketika ada acara buka puasa bersama. Tarawih yang terdiri dari 11 rakaat (8 tarwih dan 3 witir) itu biasa selesai dalam tempo satu jam, dan kadang lebih cepat.
Saya juga sesekali menjadi imam dadakan di Masjid Nurus Salam, masjid di dekat rumah. Biasa saya jadi imam ketika shalat Isya atau Shubuh, karena waktu shalat maghrib biasanya sangat ramai dan para imam masjid pasti ada di situ. Kesempatan yang langka itu tidak saya sia-siakan untuk mengulang hafalan-hafalan yang sudah saya miliki dalam situasi yang sedikit berbeda daripada sebelumnya. Tegang, khawatir salah dan lupa dengan ayat-ayat yang sudah saya hafal menjadi situasi yang cukup berkecamuk ketika saya berdiri di depan mimbar. Kaki saya sedikit bergetar, intonasi suara saya agak sedikit payah, dan pembacaan saya tidak sebaik ketika saya lakukan ketika shalat sunnah sendiri. Apalagi orang-orang yang jadi makmum di belakang saya sebagian dari mereka adalah sesepuh-sesepuh kampung.
Aktivitas menghafal masih saya lanjutkan sampai menjelang kelulusan (tepatnya kelolosan) dari STAN. Berhubung tingkat dua dan tiga begitu banyak aktivitas, ketika selesai dari STAN jumlah hafalan saya belum beranjak dari tiga juz. Pun ketika saya pindah ke Luwuk, jumlah hafalan saya rasa-rasanya makin berkurang karena berantakannya prioritas hidup saya ketika itu. Surat-surat yang dulu begitu mudah saya hafalkan kini berubah menjadi ‘seret’ dan sulit untuk diingat kembali. Dosa yang terlalu banyak adalah salah satu penyebabnya di samping sebab-sebab lainnya. Ketika jumlah hafalan saya makin menyusut, saya merasa berdosa dan sangat bersalah. Hafalan adalah amanah yang harus dijaga namun saya tidak bisa menjaga amanah itu dengan baik.
Sampai saat ini, saya masih harus bertarung dengan kemalasan-kemalasan diri agar bisa bangkit dan kembali semangat menghafal kembali. Meski di kelompok halaqah saya saat ini aktivitas menyetorkan hafalan itu masih berlangsung, saya merasa masih sangat kepayahan untuk mengikuti ritmenya dengan baik. Kemalasan yang melekat di diri ini ternyata sudah semakin akut. Semangat yang ada pun masih pasang surut, datang dan pergi. Satu hari semangat, enam hari selanjutnya surut. Satu pekan semangat, tiga pekan berikutnya ndelosor lagi.
Ada seorang akh di Luwuk ini yang diam-diam saya amati konsistensinya dalam menghafalkan Al Qur’an. Pria muda yang kini diamanahi sebagai imam masjid Al Ukhuwwah di Tanjung itu bisa dibilang salah satu asset ummat yang ada di Luwuk ini. Jumlah hafalannya banyak dan kualitas bacaannya juga baik. Beliau belum lama ini mengikuti acara Mukhayyam Qur’an yang diselenggarakan oleh sebuah partai politik di Jawa Barat dan membagi-bagi pengalamannya ketika acara itu. Kekaguman saya padanya semakin membuncah seraya mematri janji di dalam hati agar saya bisa ketularan semangatnya dalam menghafal.
Kini, sudah lebih dari enam atau tujuh belas tahun sejak kali pertama saya menghafal dan jumlah hafalan saya masih stagnan. Saya kerap membicarakan masalah ini kepada istri dan ia pun lalu mengutarakan kritikan-kritikannya kepada saya. Harus saya akui, kritikan-kritikannya itu memang ada benarnya dan karenanya, demi kedua orangtua dan anak-anak saya, saya bertekad untuk berubah. Itulah sebabnya, dalam kurun waktu tahun 2014 ini semangat saya untuk mengumpulkan kembali hafalan-hafalan yang berserak begitu menggebu. Ditambah lagi ketika shalat di masjid dekat rumah saya sering ditunjuk sebagai imam shalat jahr, termasuk diminta menjadi imam tarawih dan imam shalat id. Setelah dipikir-pikir, saya ini kok goblok banget ya. Udah dikasih kemudahan sama Allah agar bisa ngafalin Al Qur’an, diberikan lingkungan yang baik dan mendukung, tapi kok saya nggak nyadar-nyadar juga dan malah makin gak tau arah gini. Saya merasa sangat bersalah dan minta ampun kepada Allah asbab kebodohan-kebodohan saya yang telat lewat, seraya melipatgandakan syukur kepadaNya atas berbagai nikmat dan bimbinganNya kepada saya sampai saat ini. Padahal rencana memasukkan anak-anak saya ke pondok tahfizh sudah jadi rencana saya sejak dulu, tapi ini kok abinya malah masih ngeblangsak aje semangat ngafalinnya.
Program menghafal Al Qur’an yang kian lama terbengkalai kini saya mulai kembali. Anak-anak pun saya ajak untuk menghafal surat-surat di juz 30 baik ketika di rumah maupun ketika dalam perjalanan. Putri sulung saya termasuk penghafal yang cepat, pun begitu dengan putri kedua saya meski tidak secepat sang kakak. Saya menjanjikan hadiah jika mereka bisa menghafalkan surat An Naba dengan sempurna.
Sesekali kedua putri saya bertanya, “Kenapa sih abi ba baca doa (anak-anak biasa nyebut bacaan Al Qur’an dengan doa hehe) terus kayak ba gitu?” tanya si sulung.
“Abi lagi ba hafal Al Qur’an, nak.”
“Buat apa ba hapal doa, abi?”
“Supaya abi dapat pahala dan masuk syurga, nak. Supaya orangtuanya abi, mbah Nang dan mbah Wedok, bisa dapet mahkota yang bagus di syurga nanti.”
“Mahkota macam makhotanya Putri (disebutnya nama-nama putri yang kerap dilihatnya di buku dan film disney)?”
“Iya, nak. Tapi mahkota ini jauh lebih bagus dari mahkotanya si putri itu. Nanti mbak Azka, Fidel, dan Gendis ikutan ba hafal ya, supaya ummi den abi dikasih mahkota yang bagus dari Allah.”
Omongan saya mungkin kurang dimengertinya. Ndak apa. Meski awalnya ada ‘perlawanan’ dari si sulung dan si tengah, pada akhirnya mereka ikutan memurajaah hafalannya yang tak seberapa dan belum sempurna itu di sela-sela perjalanan kami berangkat ke sekolah maupun pulang ke rumah dari speaker handphone yang saya keraskan.
Para penghafal Al Qur’an adalah orang-orang yang melangkah di jalan sunyi. Tak banyak orang yang mau membersamai langkah mereka. Kalaupun ada, terkadang semangatnya tak terjaga sampai akhir hayatnya. Ada yang berhenti ketika baru memulai, ada yang jatuh malas seperti saya, dan sebab lain. Padahal di lisan dan hati merekalah, ayat-ayatNya terjaga dan terpelihara. Di dalam lisan dan hati mereka ada cahaya yang hanya dimiliki oleh para penghafal firmanNya. Meski tak terlihat, saya merasakan cahaya yang menentramkan jiwa itu ketika menatap wajah-wajah mereka dan berbicara dengannya. Saat ini metode menghafalkan Al Qur'an secara mudah sudah begitu banyak. Masalah sesungguhnya bukan pada metode, tapi pada diri sang calon penghafal Qur'an. Siapkan mereka melangkah di jalan yang sunyi itu? Saya sendiri masih berusaha untuk membesarkan hati agar siap melalui jalan yang sunyi itu, sekali lagi, dan tidak kembali terhenti di tengah jalan dan menyerah begitu saja seperti yang sudah-sudah.
Di dunia yang semakin carut-marut begini, hadirnya orang-orang yang masih bersemangat mengeja firmanNya di tengah pelbagai godaan dan tuntutan hidup ibarat sebuah oase di tengah padang pasir yang gersang. Ibarat segelas es kelapa muda di tengah perjalanan yang panas dan melelahkan. Ibarat nyeruput sop buah ketika kita seharian berpuasa. Semoga kita semua, termasuk saya, diberikanNya kekuatan agar bisa membersamai langkah mereka menuju jalan kesunyian yang begitu panjang dan berliku itu. Amin ya mujib as saailiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Oktober 2014
0 celoteh:
Posting Komentar