Namun di luar ilmu-ilmu sederhana yang pernah beliau sampaikan kepada saya waktu kecil dulu, pesan dan nasihat tentang bagaimana saya menjalani hidup ini dengan baik adalah ilmu darinya yang paling berharga. Di sela-sela kesibukannya mengulek sambal atau sekedar mengaduk sayur, beliau tak jarang menyelipkan pesan-pesan dari seorang perempuan yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Kisahnya saat menjadi buruh di pabrik sabun, lagu-lagu lawas yang membuatnya terkenang dengan masa-masa itu hingga beliau pun larut dalam senandungnya, bahkan tak jarang air matanya yang bening itu menganak sungai di pipinya yang halus. Dalam berbagai kesempatan, baik ketika saya menemaninya masak di dapur, membantunya mencuci baju, atau sekedar mengobrol lepas di hari yang senggang, beliau akan bercerita tentang masa mudanya yang sulit. Bekerja serabutan sejak kecil demi mencari sesuap nasi, perjuangan dan prinsip hidupnya yang kukuh, kisah cintanya yang pelik dengan almarhum bapak, hubungan ibu-anak yang ganjil dengan mbah wedok, dan kenangan-kenangannya bersama almarhum mbah lanang mengalir begitu saja tanpa saya minta. Beliau juga bercerita tentang saudara-saudaranya, mulai dari saudara kandungnya yang semuanya perempuan. Kakak sulungnya yang meninggal di usia muda, adik bontotnya yang juga sudah meninggal, kehidupan di Kanigoro, Magetan, Gorang-Gareng, dan persahabatannya dengan seorang perempuan yang mengadu nasibnya sebagai TKW di negara Arab. Beliau juga kerap menceritakan keluh-kesahnya, tentang adik laki-laki saya satu-satunya, tentang kisah getir adik bungsunya, tentang nasib adik tengahnya, tentang rumah di Madiun yang lahannya diserobot oleh tetangga, tentang anak tiri almarhum bapak dari istri pertamanya, tentang rumah di Meruya, tentang lahan kosong yang tak kunjung dibangun di Jurangmangu, tentang anak-anak tetangga yang satu-persatu sudah berkeluarga, tentang makam bapak yang perlu dipugar supaya sedikit ‘mantesin’, tentang harga sembako yang melambung, tentang jualan gado-gadonya yang kadang sepi, tentang cucu-cucunya yang suara dan polahnya selalu dirindukannya, tentang anak laki-laki pertamanya yang keras kepala dan tidak mendengarkan nasihat-nasihatnya, dan tentang banyak hal. Saat menyimak keluh kesah perempuan yang kepalanya mulai dipenuhi rambt putih dan kulit wajahnya yang tak lagi sekencang dan secerah dulu itu, saya memposisikan diri sebagai seorang pendengar yang baik. Saat keinginan menyela datang, saya pun menahan diri dan menyimak lebih banyak.
Di kesempatan yang lain, tak jarang kami berdebat panjang lebar. Saya yang keras kepala ini bertahan dengan keputusan yang saya buat meski beliau menentangnya. Di kemudian hari, saat saya sadar bahwa keputusan yang saya buat itu ternyata salah, beliau tidak akan membahasnya kembali. Hanya raut kecewa dan prihatin yang terpahat di wajah rentanya. Matanya yang bening akan menatap saya dengan pandangan yang hanya beliau saja yang tahu apa maksudnya. Pun ketika saya berselisih dengan almarhum bapak yang sama-sama keras kepala, beliau cenderung diam dan tidak memihak kepada siapapun karena memang keduanya adalah laki-laki yang telah menyita cintanya selama ini. Di samping sifatnya yang bijak, mamak adalah penengah dan pendamai yang baik. Beliau akan meminta maaf lebih dulu meski salah tak memihak padanya. Mungkin sifat itulah yang di kemudian hari diwariskan kepada anak sulungnya yang tak pernah tahan lama ketika berselisih paham dengan seseorang.
Ketika cucu pertamanya lahir, beliau lantas dipanggil eyang uti oleh beberapa orang. Panggilan yang ditolaknya secara halus sambil berkata, "Saya ini cuma orang kecil, ndak ada turunan darah birunya, jadi ndak perlu dipanggil eyang uti seperti itu. Panggil saya mbah wedok saja", pintanya ketika itu. Sebuah permintaan yang seolah-olah sedang memantaskan dirinya sebagaimana apa adanya. Anak-anak saya pun diajari menyanyi, mengaji, mengeja, bersikap dan berperilaku laiknya seorang anak oleh beliau. Meski dalam beberapa hal ada yang tidak sesuai dengan prinsip saya, namun saya cenderung membiarkan beliau berkasih-kasih dengan cucu-cucunya yang gesit dan lincah itu.
Sekarang beliau tak lagi muda. Pada suatu hari ketika saya memandangi dari kejauhan gestur beliau yang sedang membaca buku dengan kacamata baca murahannya, saya mendapati bahwa sosok yang tegar dan pekerja keras itu sudah menua. Giginya sudah tanggal beberapa, lipatan di sekitar kelopak matanya semakin jelas dan dalam, leher dan tubuhnya semakin kurus. Tak jarang beliau mengeluhkan tentang pandangan matanya yang tak lagi jelas dan terang, pinggangnya yang mudah sakit, dan tubuh yang cepat lelah. Terkadang, dalam istirahatnya, saya mendekati beliau, menyentuh betisnya yang tak lagi kencang, mengurut-urut pergelangan kaki dan jari-jarinya yang pecah-pecah, atau sekedar memijati tengkuk dan bahunya yang tak lagi tegap seperti dulu. Di bahu inilah dulu sebuah perjuangan untuk membantu keuangan bapak yang hanya pegawai negeri rendahan berlangsung. Di kaki inilah dulu, petualangannya mengais rejeki dengan mengantarkan kerupuk gendar atau keripik singkong buatannya dari pintu ke pintu berjalan. Di tangannya yang ringkih inilah, aneka menu makanan tercipta dari bumbu-bumbu dan bahan makanan yang tersisa di dapur kami yang kecil itu. Keringatnya yang telah mengering ibarat garam dalam kehidupan saya, dan orang-orang yang dicintainya, yang telah menyita malam dari siangnya, dan membalik siang menjadi malamnya.
Robbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiroo. [wahidnugroho.com]
Muspratama, November 2014
0 celoteh:
Posting Komentar