Pertanyaan semacam itulah yang kerap menghantui pikiran para pemuda (dan mungkin juga pemudi) yang hendak memutuskan untuk melangsungkan pernikahan tanpa dilandasi cinta sebelum akad diucapkan. Di tengah-tengah kampanye menikah atas nama cinta yang tersemat pada lagu-lagu cinta, film dan drama-drama romantis, serta buku-buku novel merah jambu yang banyak bertebaran di sekitar kita, memilih untuk menikah tanpa dilandasi cinta sebelumnya bisa jadi pilihan yang, bagi sebagian orang, sekali lagi bisa jadi, bodoh. Dan naif.
Saya mungkin termasuk dari salah satu orang yang naif itu. Karena proses pernikahan saya dengan istri memang tidak dilandasi cinta. Saya lebih senang menyebut bahwa pernikahan saya diawali oleh sebuah niat, yang insya Allah, baik. Bahwa saya ingin menikah karena ingin lebih menjaga diri dari sesuatu yang saya takutkan akan saya lakukan bila saya tidak segera menikah.
Maka demikianlah jadinya. Saya dikenalkan pada calon istri saya, ketika itu, oleh seorang ustadzah yang saya tahu kebaikannya. Kami lalu memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius: ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertukar biodata dan melakukan beberapa pertemuan dengan keluarga calon istri, serta meminta kekuatan hati kepadaNya, saya lalu memutuskan untuk mengkhitbahnya (melamar) tak sampai dua pekan setelah saya dan dirinya memutuskan untuk berta’aruf. Sebulan kemudian, kami pun menikah. Pada sebuah sore yang syahdu di rumah mertua, saya mengucapkan janji suci itu di hadapan penghulu, keluarga, dan juga teman-teman yang menemani saya. Sekarang, saat ketiga anak kami telah lahir, tumbuh besar, dan mengisi hari-hari kami selama ini, saya kerap bertanya-tanya, benarkah saya sudah mencintainya, perempuan yang saya nikahi nyaris tujuh tahun silam itu?
Ketika perenungan saya semakin intens dan dalam, pertanyaan saya pun berganti menjadi: cinta itu sebenarnya apa sih? Bagaimana wujudnya, aroma, dan teksturnya? Jika memang saya telah berhasil mencintai istri saya setelah ijab kabul itu diucapkan, maka indikatornya apa? Apakah saat saya bekerja dari pagi sampai sore, mencari uang tambahan dengan menjual ini dan itu baik di dunia maya dan dunia nyata, mencari peluang dengan merencanakan ini dan itu meski ada beberapa rencana yang kandas dan gagal, seperti itukah yang dikatakan cinta? Apakah ketika istri saya masih tertidur pulas karena kelelahan mengurus rumah lalu saya bangun terlebih dulu, merapihkan kasur dan bantal tempat saya tidur di ruang tamu, lalu pergi ke dapur dan membuatkan pisang goreng untuk anak-anak dan membangunkan istri dan anak-anak saya ketika pisang goreng telah siap, itukah cinta? Atau saat saya secara spontan ingin mencuci piring dan ngoseki kamar mandi ketika istri saya tidak sempat melakukannya, itukah cinta? Atau saat saya melihat buku-buku yang berserakan tak karuan di ruang tamu, kamar tidur, dan sudut-sudut rumah yang lain, lalu saya bangkit dan merapihkan semua buku-buku itu kembali ke tempatnya semula, itukah cinta? Atau ketika saya memandangi wajah istri saya dengan perasaan yang tak bisa saya tahu maknanya, mengusapi dahinya dengan lembut, mengacak-acak rambutnya yang harum, dan memeluk tubuhnya tanpa sebab saat kami tidur bersisian pada suatu malam, bisakah itu saya sebut sebagai sebuah cinta? Atau saat ia pergi ke luar kota sendirian selama beberapa hari karena saya tak bisa menemaninya dan saya khawatir bila terjadi apa-apa dengannya, itukah cinta? Atau saat saya sendiri yang pergi beberapa hari atau pekan ke luar kota untuk suatu urusan, lantas saya merindukan suara dan sentuhannya, itukah cinta?
Jika semua itu memang cinta, atau setidak-tidaknya bisa kita sebut sebagai pengejawantahan cinta, maka mungkin memang demikianlah adanya. Sehingga saat suatu malam istri saya bertanya apakah saya mencintainya, saya pun menjawabnya dengan agak ragu, karena saya sendiri belum yakin apakah semua hal yang telah saya lakukan untuknya, ucapkan kepadanya, dan pikirkan atasnya adalah cinta itu sendiri? Atau harus ada bentuk cinta lain yang harus saya usahakan sehingga saya pun bisa menjawab pertanyaan yang sederhana itu dengan penuh percaya diri: Ya, saya cinta sama kamu!
Saya pernah mendengar sebuah kajian bahwa cinta itu adalah sesuatu yang abstrak. Karena ia abstrak, maka tak bisa diukur dengan sesuatu yang kongkrit. Kalau memang begitu, maka semua hal yang sudah saya lakukan selama ini bisa saya anggap bukan sebagai wujud cinta karena, misalnya, menggoreng pisang, membersihkan kamar mandi, merapihkan buku-buku dan memandikan anak-anak adalah sesuatu yang kongkrit. Itulah sebabnya, saya agak gamang ketika ditanyai, apakah saya mencintainya? Karena pertanyaan itu, meski singkat dan sepele, tidak mudah untuk dijawab. Bisa jadi jawaban itu hanya untuk menyenangi hatinya, atau menenangkan jiwanya, tapi saya butuh sebuah jawaban yang lebih dari itu sehingga jawaban saya bukan sekedar basa-basi pemanis lidah belaka.
Saya juga pernah membaca dalam sebuah buku yang saya lupa judulnya, tapi saya ingat penulisnya: Mohammad Fauzil Adhim, bahwa istri memang kerap merepetisi, menggandakan, dan menalu-nalukan pertanyaan yang serupa kepada suaminya hanya untuk meyakinkan, dan menenangkan, mereka bahwa suaminya memang masih mencintainya, masih merindukannya, masih membutuhkannya, dan masih menganggapnya ada karena di luar sana bertebaran gadis-gadis muda nan terawat yang bisa saja menggoda lelaki mereka tuk berpaling. Pertanyaan semacam itu memang kerap datang tak diduga dan membuat para suami tergagap untuk menjawabnya. Bisa jadi ia datang ketika tubuh sang istri tak lagi semenarik dulu, kulitnya tak lagi sekencang dulu, aromanya tak sewangi dulu, rambutnya tak seterawat dulu, dan perutnya tak lagi serata dulu. Bisa jadi. Itu sebabnya, mereka butuh semacam penegasan verbal yang, setidak-tidaknya, bisa menenangkan mereka.
Oleh karenanya, saat istri saya bertanya kepada saya apakah saya mencintainya, saya kerap meminta waktu untuk memandanginya, menyentuhi kulitnya, atau mengingat-ingat apakah saya telah mengatakan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman. Karena bisa jadi, pertanyaan itu terlontar dikarenakan sikap dan gestur saya yang tidak seperti biasanya.
Untuk menutup celotehan ini, mungkin akan lebih tepat jika saya sendiri yang bertanya kepadanya: apakah kau, setelah aku melakukan segala hal untukmu itu, merasa bahwa aku sudah bisa dianggap telah mencintaimu? Apakah pulang malam ini bisa disebut cinta? Memang ada banyak sekali kata-kata seperti: bisa jadi, mungkin, apakah, dan seabreg tanda tanya yang bertebaran di sana sini lebih dikarenakan saya memang belum terlalu yakin apakah semua yang telah saya lakukan untuknya selama ini bisa dengan gagah berani saya katakan bahwa itu semua adalah bukti cinta saya kepadanya. Saya memang tidak berani mengaku-ngaku bahwa itu adalah sebuah wujud cinta, tapi saya berani jamin bahwa, jika memang itu cinta, maka itu halal adanya. Adakah yang lebih menenangkan dan menentramkan dari sebuah cinta yang telah dihalalkan olehNya? Celotehan ini mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada di bagian awal tulisan ini. Anggap saja ini adalah semacam pencarian yang belum mendapatkan jawabnya. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Desember 2014
cinta tidak dapat diukur dengan satuan yang jelas, jadinya hanya bisa mengira-ira berapa kadar kecintaan seseorang dengan melihat perilakunya. opo yo ngono?
BalasHapusngono yo iso. tapi ngono yo ojo ngono :v
BalasHapus