Pagi itu jadi juga aku mengunjungi kotamu. Kota yang sudah belasan tahun tak kupijak. Kota yang sudah begitu lama tak kuhirup udaranya yang beraroma manis tebu. Tak ada rencana berarti yang kubuat satu malam sebelumnya ketika aku akhirnya memutuskan untuk bertolak dari Jogja, dengan menumpang bus yang transit di terminal Solo bersama istri dari saudara sepupuku yang hendak bertolak ke Wonogiri, menuju Madiun, tempat kelahiran ibuku. Jalan-jalan yang sudah lama sekali tak kusapa itu sudah banyak berubah. Meski aku berusaha keras untuk menghadirkan kembali kenangan lama saat melewati jalan-jalan itu ketika aku masih kecil dulu, namun hasilnya tetap nihil. Lekukan pegunungan yang tampak berwarna gelap di kejauhan terpancang tegak di atas hamparan sawah yang menghijau sampai ke batas pandang. Jalan-jalan yang lebar membelah pabrik-pabrik dan pemukiman yang berderet-deret di kiri dan kanannya. Hutan jati dan randu silih berganti. Bus yang aku tumpangi pagi itu sudah hampir penuh terisi. Aku duduk di barisan paling belakang agar bisa memandangi hiruk-pikuk yang terjadi di dalam perut bus. Sepasang orangtua mengobrol, dua orang pengamen berpenampilan lusuh menyanyikan tembang-tembang jawa dari masa lalu. Terdengar suara batuk dan tangisan bayi dari baris depan. Segalarupa aroma berbaur menjadi satu. Aroma dari minyak angin, parfum murahan, bau badan, bau mulut, asap tembakau, debu jalanan, asap kendaraan, dan aroma daun sirih campur aduk, menghasilkan aroma baru yang tak aku pahami apa nama dan rasanya. Aroma kehidupan.
Aku menegakkan posisi dudukku, mengambil handphone dari dalam tas selempangku dan mulai mengirim kabar kepada ibu dan istriku. Kusampaikan bahwa aku sedang berada dalam perjalanan menuju Madiun. Ketika bus sudah memasuki wilayah Ngawi, segerombolan penumpang turun dan berganti dengan gerombolan penumpang lainnya. Seorang perempuan tua berstagen lusuh dengan sirih di mulutnya naik. Rambutnya yang memutih tampak kusut karena didera angin. Aku menawarinya duduk di kursiku yang langsung ditolaknya dengan bahasa jawa kromo. Penumpang lainnya yang ada di sampingku juga menawarinya duduk yang kembali ditolaknya dengan halus. Perempuan tua itu umurnya, kutaksir, sekitar tujuh puluhan tahun, atau bahkan lebih. Mungkin seumuran mbah wedokku. Setelah mendapatkan sudut yang nyaman di tangga pintu belakang, perempuan tua itu lalu duduk dan mengeluarkan bungkusan kertas berisi nasi pecel. Perempuan itu meminta diri kepada penumpang lainnya, termasuk saya yang paling dekat dengannya, untuk makan. Lantai bus yang bergerak-gerak dan aneka aroma yang tumpah ruah tak mengganggu kenyamanannya untuk menikmati makan siangnya yang sederhana itu. Aku sempat memaksanya kembali untuk duduk di tempatku namun sang perempuan tua bergeming dengan keputusannya.
Sepanjang perjalanan Jogja-Solo-Madiun, mataku dimanjakan dengan pemandangan yang sudah bertahun-tahun tak kudapatkan. Pemandangan khas kota-kota di pulau jawa dengan segala hiruk-pikuknya. Pemandangan yang ketika aku masih kecil dulu begitu sering aku dapati ketika berkunjung ke kampung almarhum bapak di Sleman, meski bapak sering mengaku sebagai orang Jogja, dan lebih sering lagi ke Madiun, kampung halaman mamak. Waktu aku masih kecil dulu, aku ingat kerap berdiri di atas kursi bus yang berbatasan dengan jendela dan menebarkan pandanganku di sepanjang perjalanan. Aneka mobil dan bis yang lalu lalang, truk gandeng aneka rupa, sepeda ontel yang sarat muatan, topi-topi caping yang terbuat dari anyaman bamboo, terminal-terminal yang sepi dan juga ada yang ramai, rumah makan yang nyaris tak pernah aku nikmati menunya, sawah-sawah membentang melukis cakrawala, hutan jati, hutan kayu putih, hutan randu, siluet pegunungan, pasar-pasar tradisional, kemacetan yang mengular karena terjadi kecelakaan, adalah hal-hal yang sering menggugah rasa ingin tahuku. Pemandangan itu jadi semakin menyenangkan ketika malam tiba dan gelap datang. Ketika lampu-lampu jalanan yang berwarna-warni itu dihidupkan dan sebagian manusia kembali pulang setelah bekerja seharian, maka berganti pulalah lakon kehidupan seorang anak manusia.
Aku masih setengah melamun ketika kondektur berteriak “Madiun, Madiun” dari arah depan sambil mengetuk-ngetuk tiang besi dengan uang koin di tangannya. Ketika terminal bus Purboyo di Madiun sudah mendekat dan para penumpang sudah bersiap untuk turun, perempuan tua itu sudah selesai dengan makanannya dan membuang bungkus nasinya di lantai bus. Aku menyiap-nyiapkan bawaanku berupa sebuah tas ransel besar berisi pakaianku, termasuk pakaian kotorku yang belum dicuci, yang kubawa sejak dari Jakarta hingga berlanjut ke Jogja dan kini ke Madiun. Saat bus berbelok hendak masuk ke terminal, aku mendapati pemandangan yang sudah jauh berubah. Dulu terminal ini tidak seperti ini. Jalan masuknya tidak begini. Namun ketika aku memeras-meras isi kepala untuk mengenang kembali seperti apa bentuk terminal dan jalan masuknya ketika itu, aku menyerah. Aku tak mampu mengingat kembali seperti apa gerangan wujud terminal ini saat aku mengunjunginya kali terakhir saat aku baru masuk SMA kurang lebih lima belasan tahun yang lalu. Yang mampu kuingat adalah aroma kecut-manis tebu dari pabrik gula yang berjarak tak begitu jauh dari terminal, lalu lalang kendaraan, becak-becak yang berkerumun, dan angkot berwarna biru dengan simbol berupa huruf di bagian kaca depan dan belakangnya.
Waktu menunjukkan pukul satu siang lebih sedikit. Saat aku menuruni bus, hawa panas beraroma tebu langsung menyergap. Langit sewarna biru terang. Matari terbakar. Inilah Madiun. Sebuah kota yang begitu akrab dengan masa kecilku. Sebuah kota yang menyimpan banyak cerita, banyak rahasia. Sebuah kota yang merekam tangis, tawa, dan bahagia. Mungkin ada pula geram dan kemeranaan. Dan disinilah aku saat ini. Berdiri di pintu masuk terminal seraya mengenang-ngenang peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu. Ketika aku, mamak, adik, dan, seingatku, lebih sering tanpa almarhum bapak, mengunjungi rumah mungil di dekat sebuah pabrik gula. Rumah kecil dengan sumur timba dan atap rumbia, yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan bata lempung. Aku berjalan pelan dan berbelok ke kanan untuk mencari tempat makan. Aku baru ingat kalau sejak berangkat dari Jogja perutku ini belum diisi makanan. Aku memilih sebuah kantin dan memesan nasi pecel. Sambil menikmati makanan, aku berbincang-bincang dengan si mbak penjaga kantin. Pertanyaan-pertanyaan normatif pun saling terlontar di antara kami: asli mana, mau ada keperluan apa, dan pertanyaan-pertanyaan basa-basi lainnya. Dengan alasan kesopanan, aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekenanya. Aku menjelaskan, secara singkat, bahwa aku sudah lama sekali tak lagi datang ke Madiun dan, secara jujur, mengakui bahwa ada banyak sekali perubahan yang terjadi dengan wajah kota ini. Tak sampai lima belas menit, santap siangku selesai. Aku membayar makanan dan berjalan ke luar. Sinar matari masih saja terasa terik. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, aku melambaikan tangan ke arah sekumpulan tukang ojek yang berteduh di bawah pohon besar. Salah satu dari mereka, yang berusia kira-kira empat puluh atau empat puluh lima tahun, mendatangiku. Kami terlibat transaksi kecil-kecilan dan mulai saling tawar-menawar. Setelah terjadi kesepakatan di antara kami, aku langsung menempatkan pantatku di atas sadel motor bebek lawas itu. Ojek yang kutumpangi berjalan perlahan merobek jalanan siang kota Madiun yang tidak terlalu ramai. Sepanjang perjalanan, aku kembali merayapi kenangan ketika aku masih kecil, sebagaimana yang sudah kutulis di atas, beserta dengan mamak dan adikku, atau sesekali dengan bulekku, baru sampai di kota ini ketika pagi masih berusia muda. Kami, aku dan adik, lalu duduk di atas kursi becak yang keras lalu ibuku akan menawar tarif becak dengan bahasa jawa kromo yang tak begitu ku mengerti. Setelah bersepakat dengan tarif, sang tukang becak akan mendorong becaknya, yang sudah terisi denganku dan barang-barang bawaan yang tak seberapa, dan mamakku naik. Suara kayuhan pedal becak memecah pagi yang tenang saat sang penarik becak memilih jalan kampung yang sepi dan berpasir demi ketimbang jalan utama yang beraspal mulus. Berguncang-guncang muatan becak, termasuk aku, saat bannya yang tipis bercumbu dengan batu-batu koral berukuran besar. Sepanjang perjalanan, biasa mamak akan menyebutkan jalan-jalan yang kerap jadi jalur bermainnya waktu masih kecil dulu, menyebutkan nama-nama si mbah, pakde, paklek, bude, bulek, dan sepupu-sepupunya yang tak bisa kuingat.
Dan sepanjang perjalanan kali ini pun aku berbincang dengan sang tukang ojek yang mengemudikan motornya dengan kecepatan perlahan. Saat Pabrik Gula Kanigoro sudah tampak, kenangan-kenangan masa kecil di desa – apa namanya? – Sidareja ini tiba-tiba saja menyibak ingatan. Kenangan mencari jamur blotong – semacam jamur merang –, mencuri tebu dari deretan lori yang berjejer saat hendak masuk ke dalam pabrik, minum wedang asem dari pohon asem di dekat rumah yang selalu menjatuhkan buahnya yang sudah matang di atas tanah yang lembab, mencari ikan wader dan betik di kali yang, ketika itu, masih sangat jernih, bermain lumpur di pematang sawah, jalan-jalan di kebun tebu sambil main petak umpet, dan kenangan-kenangan lainnya yang menyeruak satu demi satu. Ketika ojek yang ku tumpangi membelok ke sebuah jalan yang memisah dari jalan raya, aku merasa seolah-olah jalanan yang dulu terasa lebar dan besar itu sudah tampak menyusut. Pohon-pohon yang seingatku dulu masih pendek dan tidak terlalu rimbun kini sudah tampak tinggi dan teduh. Rumah-rumah bilik sudah berganti menjadi bangunan permanen, meski masih ada satu dua yang masih sama seperti dulu. Tasiun, demikian kami biasa menyebut bangunan Stasiun loko (lokomotif) tua, masih tampak sama. Batu-batu koral besar yang ditempeli di bagian dindingnya masih tampak sama. Hanya warnanya saja yang berbeda karena, sepertinya, baru saja dicat dengan warna kuning cerah. Sebuah mushala kecil, yang dulu belum ada, seolah memagari pintu masuk ke rumah mbah wedok yang jalan masuknya melandai dan memutari sepetak lahan yang dulunya merupakan kolam kecil ketika hujan deras turun.
Ketika rumah mbah wedok sudah terlihat, perubahan itu makin terasa. Rumah itu sudah tidak tampak seperti dulu lagi. Aku disambut oleh bulek, adik dari ibuku, dan mbah wedok yang tampak semakin tua. Aroma rumah ini, meski telah berlalu belasan tahun, entah kenapa, masih sama seperti dulu: masam, dan tua. Aku mencium tangan kedua wanita itu, mbah wedok menciumi pipiku dan memandangi wajahku dengan penuh arti. Aku membaui aroma tubuhnya yang khas orangtua dan berpikir, aroma ini pun masih sama seperti dulu. Kedatanganku ternyata disambut dengan jangan, atau sayur nangka, perkedel ikan, tahu tempe goreng, dan sambal. Meski sudah makan sejak transit di terminal Solo dan di terminal Madiun, kulahap juga makanan yang sudah disajikan itu meski tidak terlalu banyak. Setelah meletakkan tas dan barang bawaan di salah satu sudut ruang tamu, aku lalu berjalan ke luar dan menatap lanskap desa ini dan mencoba mengumpulkan kenangan demi kenangan yang pernah terjadi di masa silam. Kenangan-kenangan masa kecil yang kebanyakan sudah terlupa dan beberapa yang masih terkenang melalui foto-foto lama yang masih kusimpan di rumah. Aku lalu berjalan ke sisi barat rumah ini, berdiri sejenak di sebuah sudut yang, aku yakin, pernah terekam dalam sebuah foto yang memotret mbah lanang dan mbah wedokku yang berpose kaku berdua dengan diriku yang masih bayi di gendongan mbah wedok. Berapa tahun usiaku ketika itu? Satu tahun? Atau malah baru beberapa bulan? Kenangan demi kenangan dari foto-foto tua yang masih tersisa tiba-tiba menyeruak begitu saja. Foto ketika kami bersiap berangkat ke Jogja dimana aku mengenakan baju hijau, celana pendek di atas lutut, dan sepatu kets hitam berkaos kaki putih sepanjang lutut pun ikut hadir.
Waktu sore tiba, aku berjalan ke minimarket untuk membeli beberapa keperluan rumah. Bersama adik sepupuku, kami berjalan membelah jalanan kampung yang, meski disesaki dengan rumah-rumah, tenang dan sunyi. Saat kami membelok dari jalanan berbatu ke jalan beraspal kasar, jalanan yang dulu pernah aku lewati dengan naik sepeda kumbang tua milik si mbah, tiba-tiba saja aku jadi merindukan masa lalu yang tenang itu. Masa ketika hidup belum dicelotehi dengan aneka tuntutan, dan tagihan. Masa ketika hidup hanya berpusar pada main-main, senang-senang, tertawa, lalu pulang ke rumah ketika adzan maghrib menjelang dengan badan berbau asam karena mandi peluh dan kulit yang tampak kusam karena tebalnya daki. [wahidnugroho.com]
Kanigoro, Maret 2013
Aku menegakkan posisi dudukku, mengambil handphone dari dalam tas selempangku dan mulai mengirim kabar kepada ibu dan istriku. Kusampaikan bahwa aku sedang berada dalam perjalanan menuju Madiun. Ketika bus sudah memasuki wilayah Ngawi, segerombolan penumpang turun dan berganti dengan gerombolan penumpang lainnya. Seorang perempuan tua berstagen lusuh dengan sirih di mulutnya naik. Rambutnya yang memutih tampak kusut karena didera angin. Aku menawarinya duduk di kursiku yang langsung ditolaknya dengan bahasa jawa kromo. Penumpang lainnya yang ada di sampingku juga menawarinya duduk yang kembali ditolaknya dengan halus. Perempuan tua itu umurnya, kutaksir, sekitar tujuh puluhan tahun, atau bahkan lebih. Mungkin seumuran mbah wedokku. Setelah mendapatkan sudut yang nyaman di tangga pintu belakang, perempuan tua itu lalu duduk dan mengeluarkan bungkusan kertas berisi nasi pecel. Perempuan itu meminta diri kepada penumpang lainnya, termasuk saya yang paling dekat dengannya, untuk makan. Lantai bus yang bergerak-gerak dan aneka aroma yang tumpah ruah tak mengganggu kenyamanannya untuk menikmati makan siangnya yang sederhana itu. Aku sempat memaksanya kembali untuk duduk di tempatku namun sang perempuan tua bergeming dengan keputusannya.
Sepanjang perjalanan Jogja-Solo-Madiun, mataku dimanjakan dengan pemandangan yang sudah bertahun-tahun tak kudapatkan. Pemandangan khas kota-kota di pulau jawa dengan segala hiruk-pikuknya. Pemandangan yang ketika aku masih kecil dulu begitu sering aku dapati ketika berkunjung ke kampung almarhum bapak di Sleman, meski bapak sering mengaku sebagai orang Jogja, dan lebih sering lagi ke Madiun, kampung halaman mamak. Waktu aku masih kecil dulu, aku ingat kerap berdiri di atas kursi bus yang berbatasan dengan jendela dan menebarkan pandanganku di sepanjang perjalanan. Aneka mobil dan bis yang lalu lalang, truk gandeng aneka rupa, sepeda ontel yang sarat muatan, topi-topi caping yang terbuat dari anyaman bamboo, terminal-terminal yang sepi dan juga ada yang ramai, rumah makan yang nyaris tak pernah aku nikmati menunya, sawah-sawah membentang melukis cakrawala, hutan jati, hutan kayu putih, hutan randu, siluet pegunungan, pasar-pasar tradisional, kemacetan yang mengular karena terjadi kecelakaan, adalah hal-hal yang sering menggugah rasa ingin tahuku. Pemandangan itu jadi semakin menyenangkan ketika malam tiba dan gelap datang. Ketika lampu-lampu jalanan yang berwarna-warni itu dihidupkan dan sebagian manusia kembali pulang setelah bekerja seharian, maka berganti pulalah lakon kehidupan seorang anak manusia.
Aku masih setengah melamun ketika kondektur berteriak “Madiun, Madiun” dari arah depan sambil mengetuk-ngetuk tiang besi dengan uang koin di tangannya. Ketika terminal bus Purboyo di Madiun sudah mendekat dan para penumpang sudah bersiap untuk turun, perempuan tua itu sudah selesai dengan makanannya dan membuang bungkus nasinya di lantai bus. Aku menyiap-nyiapkan bawaanku berupa sebuah tas ransel besar berisi pakaianku, termasuk pakaian kotorku yang belum dicuci, yang kubawa sejak dari Jakarta hingga berlanjut ke Jogja dan kini ke Madiun. Saat bus berbelok hendak masuk ke terminal, aku mendapati pemandangan yang sudah jauh berubah. Dulu terminal ini tidak seperti ini. Jalan masuknya tidak begini. Namun ketika aku memeras-meras isi kepala untuk mengenang kembali seperti apa bentuk terminal dan jalan masuknya ketika itu, aku menyerah. Aku tak mampu mengingat kembali seperti apa gerangan wujud terminal ini saat aku mengunjunginya kali terakhir saat aku baru masuk SMA kurang lebih lima belasan tahun yang lalu. Yang mampu kuingat adalah aroma kecut-manis tebu dari pabrik gula yang berjarak tak begitu jauh dari terminal, lalu lalang kendaraan, becak-becak yang berkerumun, dan angkot berwarna biru dengan simbol berupa huruf di bagian kaca depan dan belakangnya.
Waktu menunjukkan pukul satu siang lebih sedikit. Saat aku menuruni bus, hawa panas beraroma tebu langsung menyergap. Langit sewarna biru terang. Matari terbakar. Inilah Madiun. Sebuah kota yang begitu akrab dengan masa kecilku. Sebuah kota yang menyimpan banyak cerita, banyak rahasia. Sebuah kota yang merekam tangis, tawa, dan bahagia. Mungkin ada pula geram dan kemeranaan. Dan disinilah aku saat ini. Berdiri di pintu masuk terminal seraya mengenang-ngenang peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu. Ketika aku, mamak, adik, dan, seingatku, lebih sering tanpa almarhum bapak, mengunjungi rumah mungil di dekat sebuah pabrik gula. Rumah kecil dengan sumur timba dan atap rumbia, yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan bata lempung. Aku berjalan pelan dan berbelok ke kanan untuk mencari tempat makan. Aku baru ingat kalau sejak berangkat dari Jogja perutku ini belum diisi makanan. Aku memilih sebuah kantin dan memesan nasi pecel. Sambil menikmati makanan, aku berbincang-bincang dengan si mbak penjaga kantin. Pertanyaan-pertanyaan normatif pun saling terlontar di antara kami: asli mana, mau ada keperluan apa, dan pertanyaan-pertanyaan basa-basi lainnya. Dengan alasan kesopanan, aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekenanya. Aku menjelaskan, secara singkat, bahwa aku sudah lama sekali tak lagi datang ke Madiun dan, secara jujur, mengakui bahwa ada banyak sekali perubahan yang terjadi dengan wajah kota ini. Tak sampai lima belas menit, santap siangku selesai. Aku membayar makanan dan berjalan ke luar. Sinar matari masih saja terasa terik. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, aku melambaikan tangan ke arah sekumpulan tukang ojek yang berteduh di bawah pohon besar. Salah satu dari mereka, yang berusia kira-kira empat puluh atau empat puluh lima tahun, mendatangiku. Kami terlibat transaksi kecil-kecilan dan mulai saling tawar-menawar. Setelah terjadi kesepakatan di antara kami, aku langsung menempatkan pantatku di atas sadel motor bebek lawas itu. Ojek yang kutumpangi berjalan perlahan merobek jalanan siang kota Madiun yang tidak terlalu ramai. Sepanjang perjalanan, aku kembali merayapi kenangan ketika aku masih kecil, sebagaimana yang sudah kutulis di atas, beserta dengan mamak dan adikku, atau sesekali dengan bulekku, baru sampai di kota ini ketika pagi masih berusia muda. Kami, aku dan adik, lalu duduk di atas kursi becak yang keras lalu ibuku akan menawar tarif becak dengan bahasa jawa kromo yang tak begitu ku mengerti. Setelah bersepakat dengan tarif, sang tukang becak akan mendorong becaknya, yang sudah terisi denganku dan barang-barang bawaan yang tak seberapa, dan mamakku naik. Suara kayuhan pedal becak memecah pagi yang tenang saat sang penarik becak memilih jalan kampung yang sepi dan berpasir demi ketimbang jalan utama yang beraspal mulus. Berguncang-guncang muatan becak, termasuk aku, saat bannya yang tipis bercumbu dengan batu-batu koral berukuran besar. Sepanjang perjalanan, biasa mamak akan menyebutkan jalan-jalan yang kerap jadi jalur bermainnya waktu masih kecil dulu, menyebutkan nama-nama si mbah, pakde, paklek, bude, bulek, dan sepupu-sepupunya yang tak bisa kuingat.
Dan sepanjang perjalanan kali ini pun aku berbincang dengan sang tukang ojek yang mengemudikan motornya dengan kecepatan perlahan. Saat Pabrik Gula Kanigoro sudah tampak, kenangan-kenangan masa kecil di desa – apa namanya? – Sidareja ini tiba-tiba saja menyibak ingatan. Kenangan mencari jamur blotong – semacam jamur merang –, mencuri tebu dari deretan lori yang berjejer saat hendak masuk ke dalam pabrik, minum wedang asem dari pohon asem di dekat rumah yang selalu menjatuhkan buahnya yang sudah matang di atas tanah yang lembab, mencari ikan wader dan betik di kali yang, ketika itu, masih sangat jernih, bermain lumpur di pematang sawah, jalan-jalan di kebun tebu sambil main petak umpet, dan kenangan-kenangan lainnya yang menyeruak satu demi satu. Ketika ojek yang ku tumpangi membelok ke sebuah jalan yang memisah dari jalan raya, aku merasa seolah-olah jalanan yang dulu terasa lebar dan besar itu sudah tampak menyusut. Pohon-pohon yang seingatku dulu masih pendek dan tidak terlalu rimbun kini sudah tampak tinggi dan teduh. Rumah-rumah bilik sudah berganti menjadi bangunan permanen, meski masih ada satu dua yang masih sama seperti dulu. Tasiun, demikian kami biasa menyebut bangunan Stasiun loko (lokomotif) tua, masih tampak sama. Batu-batu koral besar yang ditempeli di bagian dindingnya masih tampak sama. Hanya warnanya saja yang berbeda karena, sepertinya, baru saja dicat dengan warna kuning cerah. Sebuah mushala kecil, yang dulu belum ada, seolah memagari pintu masuk ke rumah mbah wedok yang jalan masuknya melandai dan memutari sepetak lahan yang dulunya merupakan kolam kecil ketika hujan deras turun.
Ketika rumah mbah wedok sudah terlihat, perubahan itu makin terasa. Rumah itu sudah tidak tampak seperti dulu lagi. Aku disambut oleh bulek, adik dari ibuku, dan mbah wedok yang tampak semakin tua. Aroma rumah ini, meski telah berlalu belasan tahun, entah kenapa, masih sama seperti dulu: masam, dan tua. Aku mencium tangan kedua wanita itu, mbah wedok menciumi pipiku dan memandangi wajahku dengan penuh arti. Aku membaui aroma tubuhnya yang khas orangtua dan berpikir, aroma ini pun masih sama seperti dulu. Kedatanganku ternyata disambut dengan jangan, atau sayur nangka, perkedel ikan, tahu tempe goreng, dan sambal. Meski sudah makan sejak transit di terminal Solo dan di terminal Madiun, kulahap juga makanan yang sudah disajikan itu meski tidak terlalu banyak. Setelah meletakkan tas dan barang bawaan di salah satu sudut ruang tamu, aku lalu berjalan ke luar dan menatap lanskap desa ini dan mencoba mengumpulkan kenangan demi kenangan yang pernah terjadi di masa silam. Kenangan-kenangan masa kecil yang kebanyakan sudah terlupa dan beberapa yang masih terkenang melalui foto-foto lama yang masih kusimpan di rumah. Aku lalu berjalan ke sisi barat rumah ini, berdiri sejenak di sebuah sudut yang, aku yakin, pernah terekam dalam sebuah foto yang memotret mbah lanang dan mbah wedokku yang berpose kaku berdua dengan diriku yang masih bayi di gendongan mbah wedok. Berapa tahun usiaku ketika itu? Satu tahun? Atau malah baru beberapa bulan? Kenangan demi kenangan dari foto-foto tua yang masih tersisa tiba-tiba menyeruak begitu saja. Foto ketika kami bersiap berangkat ke Jogja dimana aku mengenakan baju hijau, celana pendek di atas lutut, dan sepatu kets hitam berkaos kaki putih sepanjang lutut pun ikut hadir.
Waktu sore tiba, aku berjalan ke minimarket untuk membeli beberapa keperluan rumah. Bersama adik sepupuku, kami berjalan membelah jalanan kampung yang, meski disesaki dengan rumah-rumah, tenang dan sunyi. Saat kami membelok dari jalanan berbatu ke jalan beraspal kasar, jalanan yang dulu pernah aku lewati dengan naik sepeda kumbang tua milik si mbah, tiba-tiba saja aku jadi merindukan masa lalu yang tenang itu. Masa ketika hidup belum dicelotehi dengan aneka tuntutan, dan tagihan. Masa ketika hidup hanya berpusar pada main-main, senang-senang, tertawa, lalu pulang ke rumah ketika adzan maghrib menjelang dengan badan berbau asam karena mandi peluh dan kulit yang tampak kusam karena tebalnya daki. [wahidnugroho.com]
Kanigoro, Maret 2013