Hari ini tujuh tahun yang lalu. Aku mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu, orangtua, dan tamu-tamu yang menyesaki sebuah ruang tamu pada suatu sore yang sejuk. Sebait janji yang kuat lagi berat telah kuikrarkan ketika sinar matari sore yang lembut jatuh di teras rumah yang teduh kala itu.
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Aku menikahi seorang gadis pemalu yang namanya belum pernah sekalipun hadir di dalam mimpi-mimpiku. Yang wajahnya belum pernah menyapa angan dan senyumnya tak pernah pula mampir di dalam lamunanku. Yang suaranya tak pernah kudengar dan tawanya tak pernah menjangkau nalar. Ia gadis yang suci diri lagi hatinya. Tak pernah sepercikpun cinta hadir di dalamnya kecuali hanya kepadaNya. Ia gadis yang selalu menjaga diri dan pandangannya dari yang diharamkanNya. Ia gadis yang menutup auratnya dengan sempurna di tengah ketidaksempurnaannya sebagai manusia biasa.
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Apa yang sedang kau lakukan di dalam kamar itu? Bagaimana dengan degup jantungmu yang tengah memburu itu? Bagaimana rupa wajahmu yang mungkin saja pias karena menahan malu? Bagaimana getar bibirmu yang mungkin saja kau gigiti karena dibanjiri sendu?
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Kau mungkin saja sedang tepekur di dalam kamar yang telah dihiasi dengan aneka bunga dan warna. Wajahmu menunduk dalam-dalam. Hatimu berdzikir, mengeja nama Rabb sekalian alam. Adakah namaku pernah hadir di dalam mimpi-mimpimu? Adakah wajahku pernah mampir ke dalam bilik hatimu? Mungkin tidak. Mungkin juga pernah. Hanya dirimu saja yang tahu jawabnya.
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Bagaimana perasaanmu ketika tunai kuucapkan janji itu? Bagaimana gejolak jiwamu ketika aku memasuki kamarmu, memandangi wajah berpupurmu dan menyentuh keningmu yang halus itu untuk kali pertama? Bagaimana debar jantungmu ketika tangan kita saling berpegangan dan jiwa kita saling meraba untuk pertama kalinya?
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Bagaimana rasanya dipandangi oleh seorang lelaki yang masih asing meski dirinya telah dihalalkanNya bagimu? Bagaimana rasanya duduk bersanding di hadapan begitu banyak orang yang sibuk merapalkan doa dan harapannya untuk kebahagiaanmu dan lelaki asingmu itu?
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Aku memancangkan harap agar bisa menua bersamamu, mendampingi anak-anak yang beranjak besar, mendengarkan gundah gelisah mereka, menemani mereka pada masa-masanya yang tersulit, menjadi tempat berteduh kala sedih menghujani mereka, dan mengantarkan mereka menapaki masa depannya yang tak mudah. Aku berharap bisa melakukan itu semua bersamamu sampai kelak kita bertemu dan berkumpul kembali di jannahNya yang suci. Berakhir pada sebuah tempat yang tak memiliki akhir.
Hari ini tujuh tahun yang lalu. Cinta itu masih ada, hanya ia kini berbeda. Semakin dalam, semakin liat, erat, dan kuat. [wahidnugroho.com]
Tanjung, April 2015