Oleh: Wahid Nugroho
Pengelola Rumah Baca Jendela Ilmu, Warga BTN Muspratama
Pilkada Banggai, serta beberapa kabupaten dan kota seprovinsi Sulawesi Tengah, sudah dekat. Rasa-rasanya hanya tinggal menghitung hari saja meski waktu yang tersisa masih sekitar enam atau tujuh bulan lagi. Di tengah makin terbatasnya waktu, para pasangan calon berakrobat sedemikian rupa demi meraih simpati warga agar mau memilih mereka kelak.
Segala rupa janji ditebarkan, segala macam rencana disuarakan. Rakyat pun disuguhi pentas janji dan orkes rencana, terlepas dari benar tidaknya dan terealisir atau gagalnya janji dan rencana tersebut. Aneka rencana dan tumpukan janji itu seharusnya jangan sekedar dijadikan pemanis kampanye belaka, namun seharusnya dijadikan sebagai dasar pertimbangan rakyat dalam menjatuhkan pilihan politiknya.
Meski secara resmi nama-nama pasangan calon yang akan berlaga belum lagi muncul ke hadapan publik, namun sudah ada satu dua nama yang kerap ditemui wajahnya dalam baliho-baliho yang kerap kita temui di beberapa sudut jalan. Alat-alat peraga itu bahkan sampai melakukan penetrasi ke nyaris semua jalan, persimpangan, dan pusat konsentrasi massa yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Banggai. Nama dan wajah yang kerap mengisi ruang publik kita tersebut kemudian menjadi semacam sinyal awal bahwa wajah-wajah itulah yang kelak akan berlaga dalam ajang, izinkan saya menggunakan istilah ini, perebutan kekuasaan bertajuk Pilkada Banggai, Pilkada Banggai Laut, Pilkada Sulteng, Pilkada Palu, dan sebagainya.
Dari semua calon yang akan bertarung di medan laga, belum nampak sebuah itikad yang menegaskan perhatian para calon tersebut dengan pembangunan yang menyentuh unsur kebudayaan yang berbasis pada kearifan lokal setempat. Memang jika kita berpikir secara pragmatis, kebutuhan akan peningkatan kualitas pendidikan dan kebudayaan berbasis kearifan lokal belum menjadi prioritas dalam pentas perpolitikan kita.
Bahkan jika kita ingin sedikit lebih berterus terang, belum terpenuhinya kebutuhan asasi rakyat kebanyakan yang mayoritas bersifat material menjadi pertimbangan yang terus-menerus disuarakan dan menjadi bahan jualan para politisi yang kerap terulang dari satu perhelatan politik ke perhelatan politik yang lain. Maka tidak heran jika isu kebudayaan dan pendidikan seolah menjadi anak tiri dalam setiap perhelatan pertarungan politik. Bahkan jika kita mau sedikit berterus terang, isu soal kebudayaan dan pendidikan masih menjadi sesuatu yang ada di awang-awang dan tidak populer. Padahal kedua hal tersebut, secara naif, bisa pula dikategorikan sebagai sebuah kebutuhan asasi manusia yang harus dipenuhi dan diberikan tempat yang layak.
Oleh karenanya, dari semua manuver yang dilakukan oleh para calon, belum terlihat itikad baik mereka untuk memberikan perhatian yang memadai pada bidang garapan yang satu ini. Rakyat pun demikian halnya. Maka jadilah kombinasi antara politisi yang tidak memberikan perhatian dengan rakyat yang tidak menaruh kepedulian membuat isu tentang peningkatan kualitas pendidikan dan eskalasi kebudayaan menjadi orang asing di negerinya sendiri.
Contoh yang paling riil adalah Perpustakaan Daerah yang sejak terbakar pada bulan Januari tahun 2014 silam belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah. Seiring sejalan pula dengan para politisi, termasuk para calon bupati dan wakilnya, yang tidak menjadikan isu tentang pentingnya keberadaan perpustakaan daerah yang berkualitas sebagai “dagangan politiknya”. Padahal sehat tidaknya sebuah perpustakaan adalah salah satu indikator sehat tidaknya intelektual masyarakat.
Hanya saja, investasi dalam bidang ini memang tidak akan memberikan impact yang instan. Dalam bahasa yang lebih pragmatis, tidak ada benefit secara langsung yang dapat dinikmati karena sifatnya yang jangka panjang. Namun itu bukan berarti pengabaian terhadapnya bisa menjadi hal yang dimaklumi. Karena apa yang kita bangun saat ini akan kita wariskan untuk anak cucu kelak. Dan kita tentu tidak menghendaki warisan itu hanya berupa “ikan”, bukan kail dan pancing serta pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk mencari ikan mereka sendiri. Dan pengetahuan itu sangat linear dengan ketersediaan bahan bacaan yang memadai dan, tentunya, eksistensi perpustakaan daerah yang menarik dan mampu menarik minat publik untuk mengunjungi dan memanfaatkannya.
Oleh karenanya, kiranya patut ditunggu, siapakah di antara para calon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga dalam ajang “perebutan kekuasaan” bertajuk Pilkada kelak yang memerhatikan aspek satu ini. Sebut saja sebagai Penguasa Yang Berwawasan Budaya. Jika ada, maka dia pastilah sosok yang istimewa dan luar biasa, yang akan terukir namanya sebagai sosok yang memiliki kepekaan tinggi terhadap masa depan generasi penerus daerah ini di masa yang akan datang. Yang akan diingat sepanjang masa sebagai orang yang peduli dengan eskalasi kualitas sumber daya rakyatnya, bukan hanya elektabilitas dan popularitas diri dan keluarganya an sich.
Tulisan ini dimuat dalam harian Banggai News tanggal 25 Mei 2015