Sebelas tahun berlalu sejak krisis yang melanda Parma ketika dihantam badai skandal korupsi sang presiden yang disebut sebagai Skandal Parmalat. Krisis yang akhirnya berimbas pada buruknya performa Parma bahkan nyaris membuat klub itu terdegradasi pada musim 2004-2005 silam. Carut-marut kepemilikan Parma yang berlangsung sejak tahun 2003 akhirnya menemui titik cerah ketika Tomasso Ghirardi mengakuisisi Parma pada tahun 2007 dan menjadi presiden sejak saat itu.
Meski sempat turun kasta semusim pada tahun 2008, Parma kemudian bangkit dan kembali ke Serie A di bawah asuhan Francesco Guidolin dan finish di klasemen ke 2 Serie B musim 2008-2009. Di musim perdananya setelah terdegradasi, Parma konsisten berada di papan tengah, melahirkan beberapa nama pemain bintang seperti Parolo, Candreva, dan menghidupkan kembali kehebatan si semut ajaib Giovinco. Parma bahkan sempat menyodok ke posisi enam pada musim 2013-2014 dan berhak meraih tiket ke Eropa setelah 7 tahun absen. Sebuah perayaaan seratus tahun berdirinya klub (centenary) yang manis.
Namun perayaan itu kandas dan hingar-bingar yang ada langsung terasa senyap dan pahit ketika Parma akhirnya digantikan oleh Torino karena permasalahan pajak dan gaji pemain yang belum tuntas terbayar. Gagalnya Parma melakukan comeback ke Eropa itulah yang menjadi titik awal terbongkarnya kebobrokan situasi finansial klub yang berdiri pada tahun 1913 silam itu. Sebuah situasi yang membuat klub harus bergonti-ganti presiden klub sebanyak 4 kali sepanjang Desember 2014 sampai Januari 2015 mulai dari Ghirardi sampai Manenti. Nama terakhir bahkan bernasib nahas karena sempat ditahan oleh pihak berwajib Italia karena indikasi pencucian uang.
Kekisruhan yang melanda Parma berimbas pada performa buruk klub yang sempat mencicipi 2 kali piala UEFA itu. Tercatat sebanyak 3 kali Parma mengalami pengurangan poin sampai dengan 7 poin musim ini. Parma bahkan pernah menunda beberapa giornata karena klub tidak bisa menyediakan bus untuk para pemain! Musim 2014-2015 ini bahkan terasa jauh lebih buruk jika dibandingkan ketika Parma degradasi pada musim 2007-2008 silam. Ketika itu Parma berhasil mengemas 34 poin hasil dari 7 kali menang, 13 kali imbang, dan 18 kali kalah, termasuk selisih gol yang masih bisa “ditolerir”: minus 20. Hasil itu jauh lebih baik ketimbang musim 2014-2015 ini dimana Parma hanya bisa meraih 18 poin, hasil dari 6 kali menang, 7 kali imbang, dan 24 kali kalah dengan selisih gol minus 42! Andaipun di pertandingan terakhir nanti Parma menang, catatan itu tetap saja masih jauh lebih buruk!
Namun di balik performa Parma musim ini, kita tentu harus memandangnya dari sudut yang berbeda. Karena di tengah ketidakpastian dan carut-marutnya kondisi klub, para pemain, pelatih, dan jajarannya mampu memberikan kontribusi mereka yang terbaik. Sebuah performa yang menampar jajaran manajemen Parma karena buruknya perlakuan mereka terhadap para pelatih, pemain, staf, dan tifosi yang setia membersamai perjalanan klub yang sedang tersungkur ini.
Buruknya performa Parma pada musim ini menangguk simpati banyak pihak. Para mantan pemain, mantan pelatih, bahkan para rival menyampaikan simpati mereka kepada salah satu klub Italia yang sempat menjadi momok di era 90 sampai awal 2000an ini. Sebuah klub besar yang pernah melahirkan legenda-legenda sepakbola dunia ketika masa-masa jayanya dulu. Siapa yang tidak kenal Minotti, Barbutti, Asprila, Zola, Crespo, Chiesa, Gilardino, Amauri, Taffarel, Frey, Buffon, Cannavaro, Thuram, Nakata dan sederet nama-nama beken lainnya yang pernah mengisi ruang sejarah kita. Sampai saat ini bahkan belum ada satupun klub Italia yang berhasil menjuarai Europa League (dulu UEFA) setelah Parma menjuarainya pada tahun 1999 silam.
Sebagai seorang fans layar kaca, saya tentu bersedih dengan keadaan ini. Parma adalah klub sepakbola yang turut mendampingi tumbuh kembang saya sebagai anak yang besar di era 90an. Kesedihan yang bahkan jauh lebih mendalam dibandingkan ketika klub ini kalah di kandangnya sendiri dan akhirnya terdegradasi ketika melawan Inter Milan, yang ironisnya meraih gelar scudetto, pada tahun 2008 silam. Kesedihan yang mendalam itu hadir karena situasi relegasi Parma musim ini jauh berbeda dengan kisah relegasi pada tahun 2008 itu. Tragedi relegasi tahun ini serasa menyesakkan karena dibarengi dengan bayang-bayang bangkrutnya klub yang ekses lebih jauhnya adalah pembubaran klub, sama halnya dengan yang pernah terjadi dengan AC Siena dan AC Fiorentina beberapa tahun yang lalu. Meski apa yang dialami Parma tidak berhubungan secara langsung dengan saya, namun kabar buruk itu tentu saja akan membuat siapapun yang mengenal klub ini akan bersedih karenanya.
Seratus tahun yang lalu, para pendiri klub ini tentu tidak menyangka bahwa nyaris 80 tahun setelah berdirinya klub ini akan meraih gelar pertamanya, Coppa Italia, ketika itu. Gelar yang kemudian disusul dengan rentetan gelar-gelar lainnya seperti Super Coppa, Super Eropa, Winners Eropa, dan UEFA League selama kurun waktu sebelas tahun setelah kali pertama klub ini mencicipi atmosfir tertinggi sepakbola Italia pada tahun 1990 silam. Kini, perayaan seratus tahun berdirinya klub itu terasa semakin pahit, karena klub ini diberikan deadline sampai dengan tanggal 29 Mei 2015 oleh otoritas Italia untuk membereskan semua permasalahannya, termasuk mendapatkan pemilik baru yang akan mengarungi perjalanan klub ini di masa depan. Jika sampai hal itu tidak diindahkan, maka seratus tahun yang sudah lewat itu akan jadi catatan sejarah yang terpaksa diputus dan dihentikan denyutnya. Parma terancam bubar dan harus memulai semuanya dari awal kembali. Sebuah akhir dari mimpi seratus tahun yang akan mengubah wajah dari orang-orang yang mencintai, mendukung, bahkan membenci klub yang besar ini. Pahit, memang. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2015
0 celoteh:
Posting Komentar