Luigi menghentikan bacaannya ketika kereta yang membawanya dari Bologna satu setengah jam yang lalu berhenti di Stazione di Parma. Setelah membeli secangkir kopi dan sebuah roti sandwich isi prosciuto, ia lalu menyeret langkahnya keluar dari stasiun yang terletak di Piazzale Carlo Alberto dalla Chiesa itu untuk mencari taksi. Siang itu udara terasa segar meski hawa angin musim dingin masih sedikit tersisa. Segerombolan anak muda berpakaian kuning biru melewati Luigi ketika sebuah taksi berhenti di depannya. Luigi lalu menghempaskan tubuhnya ke dalam mobil hatchback Ford berkelir putih dan meminta supir mengantarkannya ke Viale Partigiani D'Italia. Sang supir yang ternyata penduduk asli yang tinggal tak jauh dari tempat itu, tepatnya di wilayah Viale Mentana, langsung menebak maksud kunjungan Luigi ke sebuah kota di Italia tengah yang terkenal dengan produk keju Parmesan itu.
“Menurut Anda mereka akan menang malam ini?” tanya supir sambil melirik ke arah kaca. Pandangan kedua lelaki berbeda usia itu bertemu. Luigi lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan Autostrada del Sole yang tidak begitu ramai.
“Entahlah. Kemenangan sudah menjadi barang mewah untuk kita musim ini. Anda ingat kapan terakhir kali kita meraih kemenangan? Aku sendiri sudah lupa. Apakah itu saat kita melawan Juventus atau Palermo?”
“Sepertinya Palermo.”
“Ah, iya. Nocerino membuat malam itu menjadi sangat indah. Sayang setelah giornata itu kita kembali dihabisi Lazio dan Cagliari. Tidakkah Anda percaya? Cagliari membantai habis kita empat gol tanpa balas! Aku benar-benar tidak mengerti kenapa mereka jadi begini? Manenti harus bertanggungjawab.”
“Kurasa Manenti tidak sepenuhnya salah. Ghirardi lah keparat sesungguhnya yang menjadikan semua prahara ini seolah tak berujung. Donadoni adalah pelatih yang bagus. Ia telah menunjukkannya setelah mengambil alih klub ini dari Colomba beberapa tahun yang lalu. Anda tentu ingat ketika musim kemarin ia nyaris berhasil mengantar klub ini kembali ke Eropa setelah akhirnya digantikan oleh Torino, klub yang terindikasi bermain curang di pertandingan terakhir itu melawan Fiorentina sialan itu.”
Supir itu menatap ke depan dengan pandangan sendu.
“Entahlah.”
Taksi itu kemudian membelok ke kanan, berputar sedikit dan keluar dari jalan tol menuju Via S. Leonardo. Restoran cepat saji asal Amerika yang ada di sisi kirinya sudah tampak ramai ketika taksi putih itu memutar di Tangenziale Nord. Luigi melirik ke arah jam yang menempel di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit ketika taksi itu memasuki Via Mantova.
Beberapa menit kemudian, taksi itu memasuki wilayah Via Giacomo Puccini. Luigi melihat segerombolan anak muda berpakaian kuning biru memenuhi jalan-jalan. Ketika Piazzale Risorgimento sudah tampak, Luigi menyetop taksi dan memutuskan untuk turun di depan sebuah toko obat Farmacia Stadio Tardini.
“Anda tidak ikut bergabung?”
Luigi mengangsurkan beberapa lembar Euro kepada supir tersebut.
“Entahlah.”
Suaranya seolah menggantung di udara. Luigi menerima kembalian dari sang supir yang tampaknya sudah bersiap untuk pergi.
“Grazie ragazzi.”
Gerbang bercat kuning gading dengan tulisan Stadio Communale Ennio Tardini di kedua menaranya berdiri menjulang tak jauh dari tempat Luigi berdiri. Ada lumayan banyak orang yang datang malam ini. Sebagian besarnya adalah anak-anak muda, dan sebagian lainnya adalah anak-anak dan orangtua paruh baya. Dalam pertandingan derby dell gialloblu malam ini, agak sukar membedakan mana pendukung Parma dan mana pendukung Hellas karena keduanya memiliki warna jersey yang sama; kuning biru, meski ada banyak juga tifosi Parma yang mengenakan jersey putih hitam.
Luigi lalu mengenang masa-masa yang indah dua puluh enam tahun yang lalu ketika klub ini akhirnya menembus kompetisi kasta tertinggi di Italia, Serie A, setelah mengalahkan klub tetangga mereka, Reggiana, pada tahun 1989 silam. Dalam pertandingan bertajuk Derby Dell Enza itu, Parma menang dua angka tanpa balas dari gol yang dicetak oleh Melli dan Osio. Luigi yang ketika itu masih bersekolah menengah melonjak kegirangan di tribun utama yang disesaki oleh begitu banyak manusia.
Kemenangan yang bersejarah itu sedikit banyak membuat hati Luigi lega, karena selama ini ia selalu diejek oleh teman-temannya dari Bologna yang klubnya memiliki sejarah mentereng ketimbang Parma, klub yang didukungnya selama ini. Belum lagi jika ia bertemu dengan sepupu-sepupunya yang berasal dari Naples, Milan, dan Turin. Ejekan itu akan bertambah semakin menjadi-jadi. Namun setelah musim yang indah ini berakhir, Luigi bisa sedikit berbangga kepada teman dan saudara-saudaranya karena akhirnya klub yang mereka dukung akan bertemu dalam satu kompetisi yang sama, dan sederajat.
Maka jadilah tahun 1990 menjadi musim pertama Parma di Serie A. Luigi ingat betul pertandingan pertama Parma ketika itu. Stadion penuh sesak. Orang-orang segala usia dan rupa tumpah ruah di dalamnya. Meski ketika itu mereka mengalami kekalahan dari raksasa Turin, Juventus, pertandingan selanjutnya nyaris sepenuhnya terisi dengan kemenangan sampai akhirnya mereka kembali takluk di Milan. Dan begitulah. Tahun-tahun setelahnya adalah sejarah yang manis ketika mereka akhirnya duduk di posisi kelima pada musim pertama mereka di Serie A, yang mengantarkan mereka ke kompetisi Eropa pertama dalam sejarah berdirinya klub, dan meraih gelar Coppa Italiana mereka yang pertama. Gelar yang juga sekaligus menjadi gelar terakhir mereka empat belas tahun yang lalu ketika mereka menaklukkan Juventus melalui akumulasi gol tandang waktu itu.
Parma bahkan meraih gelar Eropa pertama mereka pada tahun 1993 ketika mereka berhasil menaklukkan jagoan Belgia, Royal Antwerp, di Wembley ketika itu. Gelar yang membuat Luigi semakin membusungkan dada di antara teman-temannya yang berasal dari Bologna, yang ketika itu sedang meratapi masa-masa suram mereka di Serie B. Namun dari semua gelar, adalah gelar Coppa UEFA pada tahun 1999 di Luzhniki yang paling berkesan bagi Luigi. Sebabnya karena pertandingan itu adalah kali pertama Luigi menonton pertandingan final kompetisi Eropa Parma secara langsung di stadion. Ketika anak-anak asuhan Alberto Malesani melibas Bordeaux enam gol tanpa balas di Tardini, Luigi kemudian bertekad untuk membeli tiket pertandingan final dan menonton langsung di sana. Dan semua kerja ekstra yang dilakukannya berujung manis. Parma menang tiga gol tanpa balas atas jawara Prancis, Marseille, dan kembali mengangkat trofi Eropa mereka setelah empat tahun tak pernah lagi mengangkatnya. Gelar itu kemudian menjadikan Parma sebagai klub keempat di Italia yang memiliki trofi Eropa terbanyak setelah Milan, Juventus, dan Internazionale. Meski, pahitnya, belum pernah juara Serie A, tidak seperti Bologna yang sudah tujuh kali scudetto. Fakta yang membuat Luigi tidak terlalu senang karenanya.
Namun meski musim ini begitu buruk, jauh lebih buruk daripada musim 2007-2008 silam ketika mereka juga mengalami relegasi, Luigi tetap optimis memandang masa depan klub yang sudah berdiri lebih dari seratus tahun ini. Ia melihat wajah-wajah para Parmagiani dan Boys 1977 yang tampak ceria meski klub ini sudah positif terdegradasi ke kasta ke dua beberapa pekan yang lalu. Suasana stadion pun lumayan ramai. Luigi menaksir ada sekitar sepuluh ribuan penonton sore ini. Suara chant Ole Parma dari dalam stadion sudah mulai terdengar.
Luigi lalu mampir sebentar di kios yang menjual koran di dekat sebuah kafe. Sebuah koran La Gazzetta diambil lalu dibacanya. Setelah membuka-buka beberapa halaman, wajah Luigi tampak sumringah ketika mendapati statement Donadoni yang menolak untuk menyerah melawan Napoli sore ini meski Parma sudah positif relegasi. Meski allenatore Chievo, Rolando Maran, meragukan komitmen Donadoni untuk tidak melepas giornata kali ini dan bermain sepenuh hati, Donadoni menjawab bahwa ia akan mendampingi anak asuhnya untuk bermain sekuat tenaga melawan Napoli yang tengah berambisi menangguk poin demi bermain di kompetisi Liga Champion musim depan.
Hari itu pun berlangsung seperti biasa. Hingar bingar di dalam stadion makin membahana setelah Palladino mencetak gol pembuka. Curva Nord nyaris terisi sepenuhnya oleh Boys 1977, meski Curva Sud dan tribun timur tidak terlalu ramai. Luigi menatap satu demi satu wajah-wajah yang tengah bergembira di tribun utama sore itu. Wajah-wajah yang seolah menyampaikan kepada Luigi dan para pemain yang tengah berjibaku di lapangan bahwa mereka akan selalu mendampingi perjalanan klub ini meski sejarah kali ini terasa begitu getir dan menyakitkan buat mereka. Sejarah dari sebuah klub yang tengah berada di penghujung usianya karena penyakit kronis yang dideritanya sejak lama.
Langit Parma sore itu tampak biru cerah, meski klub ini sedang mengalami masa-masa tergelapnya. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2015
Selasa, 02 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Halo mas nugroho.
BalasHapusBoleh saya bertanya. Apakah di luwuk pos, setiap hari minggu menyediakan rubrik sastra, seperti cerpen atau puisi?
Belum ada kayaknya. Sastra belum jadi komoditas yang dibutuhkan di Luwuk. Kalau susupo politik mungkin iya hehe..
BalasHapus