“Menurut pak Wahid, siapa yang harus kita pilih di Pilkada Banggai nanti?”
Tete Haji melayangkan pandangannya kepada saya di sela-sela acara yasinan di rumah jumat pekan lalu. Suara para jamaah yasinan yang sedang menikmati semangkuk milu siram panas berdengung-dengung di belakangnya.
“Semua kandidat bagus, Tete,” jawab saya dengan volume suara yang agak keras. Tete Haji memang punya masalah pendengaran.
“Saya belum tau mau pilih siapa. Bisa jadi saya pilih semua karena semuanya bagus-bagus.”
Saya tertawa. Ia mengangguk dan melontarkan senyumannya yang khas.
Ketika sebagian besar jamaah yasinan sudah pulang, obrolan pun berlanjut ke persoalan Pilkada yang akan dihelat pada bulan Desember nanti bersama bapak-bapak komplek yang masih tersisa. Ketika masing-masing orang sudah menyampaikan aspirasinya, maka tibalah kepada saya.
“Jadi pak Wahid kira-kira mau dukung siapa?”, tanya tetangga saya.
Maka saya menjawab kurang lebihnya begini (dengan beberapa penyesuaian).
“Saya ini orang pendatang, tidak terlalu tertarik dengan pilkada. Waktu tahun 2011 yang lalu, saya malah nggak tau sama sekali siapa-siapa aja calonnya. Pilihan saya ketika itu, kalo boleh dibilang, bersifat pragmatis. Sekedar ngikut saja. Kenapa? Karena SK saya bukan ditandatangani sama pak bupati, with all due respect. Jadi mau siapapun bupatinya, nggak ngaruh sama penempatan saya, pangkat saya, jabatan saya, bahkan jumlah gaji dan tunjangan saya.”
Dan sikap itu pun berlangsung sampai detik ini.
Saya merasa telah memberikan jawaban yang tepat dan sesuai dengan kapasitas saya yang hanya warga pendatang ini. Sejak era pemilihan kepala daerah secara langsung, terhitung baru 3 kali saya ikut memilih. Pertama ketika pilkada Banten tahun 2006, pilkada DKI tahun 2007, dan pilkada Banggai tahun 2011 silam. Di luar pilkada Banggai, barangkali cuma pilkada Banten yang saya terlibat secara langsung sebagai saksi salah satu calon ketika itu. Pilkada DKI Jakarta ketika itu pun saya ikuti secara tak sengaja karena waktunya hanya berselisih beberapa hari dengan kematian bapak saya. Sehingga saya yang terpaksa sedang berada di Jakarta pada tanggal-tanggal tersebut menyempatkan diri untuk memilih dan tidak mengikuti perkembangan sesudahnya karena sudah kembali ke Luwuk.
Kini, pilkada Banggai sudah di depan mata. Meski saya sempat dituduh yang “nggak-nggak” dalam kasus telepon gelap yang kemarin itu, saya tetap berkeyakinan bahwa pilkada Banggai, dan mungkin juga pilkada-pilkada lain ke depannya akan saya anggap sebagai angin lalu saja dan penambah bekal cerita-cerita yang kelak akan saya rekam dan catat sebagai bagian dari hidup saya. Namun saya tetap mendoakan supaya pilkada kali ini berjalan dengan damai, aman, lancar, dan melahirkan sosok pemimpin, siapapun ia, yang dapat membawa kabupaten yang indah ini menuju ke arah yang lebih baik. Karena siapapun yang kelak akan terpilih, saya mungkin sudah akan meninggalkan daerah ini dan dimutasi ke daerah lain.
Dan tahukah Anda? Ini adalah kali pertama saya menulis tentang pilkada Banggai di blog ini? Sesuatu yang sebenarnya sangat saya hindari jika tidak ada hal penting yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan kesibukan yang telah menyita waktu saya sehari semalam. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2015
Minggu, 23 Agustus 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar