Pagi ini kau membuatkanku
sebungkus mie instan. Lengkap dengan telur, taburan bawang goreng, cacahan seledri,
dan daun bawang cincang. Tak lupa dua buah cabe rawit berwarna jingga cerah kau
cemplungkan ke dalam kuahnya.
Ketika mangkuk berisi mie kuah dengan
asap mengepul-ngepul itu kau angsurkan kepadaku, aku melihatmu berjalan ke
tempat cuci piring dan mencuci perabotan yang sedari malam tersungkur di sana. Aku
menatap mangkuk putih susu itu, menyesap aroma mie kuah yang gurih sambil
mengenang kejadian demi kejadian yang telah kulewatkan bersamamu.
Seperti baru teringat sesuatu,
kau bangkit dari tempat mencuci piring dan berjalan ke arahku. “Keripik tempe?”
katamu sambil menyerahkan toples plastik berisi keripik tempe kepadaku. Aku mengambil
empat buah keripik dari dalam toples dan meletakkannya di atas meja.
“Aku ambil piring kecil,” tawarmu
padaku ketika tahu bahwa keripik-keripik tempe itu kutaruh begitu saja di atas
meja kayu bervernis cokelat tua. Aku menolak tawaranmu.
“Tolong ambilkan aku air minum saja,”
pintaku.
Kau berjalan ke arah rak piring,
mengambil gelas plastik, dan mengisinya dengan air. Suara air mengisi gelas
terdengar dari arahmu. Kau kembali ke tempatku duduk, menyerahkan segelas penuh
air, dan kembali ke tempatmu mencuci piring.
Dari balik meja tempatku duduk,
aku mengamati gerak-gerikmu. Mengamati raut wajahmu. Mengamati diam tenangmu. Mengamati
bagaimana tanganmu mencuci piring dan gelas itu satu demi satu. Mengamati cara
dudukmu yang sangat kuhapal dengan baik itu. Mengamati caramu menyiduk segayung
air dari bak berwarna hitam dan menyiramkannya ke piring-piring dan gelas itu. Mengamati
caramu bangkit dari duduk, berdiri, dan berjalan. Mendengarkan suara langkahmu
yang halus. Mendengarkan suaramu saat memanggil putri sulungmu untuk bersegera
mandi. Aku mengamatimu yang sedang berjalan mendekatiku. Ujung jilbabmu yang
panjang bergoyang-goyang seirama langkahmu yang canggung itu. Kau mengenakan
gamis berwarna hijau muda. Aku senang melihatmu dengan busana berwarna hijau. Jilbab
hijau, manset hijau, rok hijau, blus hijau, gamis hijau. Warnanya yang sejuk
seirama dengan warna kulitmu yang cerah itu. Pernah aku tertegun ketika mendapatimu
mengenakan setelah blus dan jilbab hijau. Betapa cantiknya dirimu ketika itu.
Bunyi denting sendok dan garpu
yang beradu dengan dasar mangkuk memecah kesunyian. Aku menyudahi menu sarapan sederhana
itu dalam durasi yang sedikit agak lama demi menikmati dirimu yang tercandra
mata yang lelah ini. Mata yang hari-harinya begitu nanar memandangi hidup yang
makin sulit dan menyaksikan bebannya yang makin menghimpit.
Terkadang, ketenangan dari istri
bagi seorang suami tidak menuntut sesuatu yang rumit. Sekedar memandangi
dirinya, menyentuhi tangannya, membaui subtil aroma tubuhnya, menyesap wangi
rambutnya, memeluk pinggang dan pinggulnya yang mungkin sudah tidak sekencang
dulu, merayapi setiap lekuk tubuhnya yang bisa jadi tidak semulus dahulu, atau
sekedar mendengar suaranya yang tak lagi selembut beberapa tahun yang lalu, bagiku, terkadang -- sekali lagi terkadang -- sudah lebih dari cukup.
Maka jadilah sepagi itu aku dianugerahiNya sebuah ketenangan yang menyusupi relung batinku yang terdalam. Hanya dengan memandangimu, mendengarkan suaramu, mengamati
gerak-gerikmu, aku merayakan hadirnya lelehan kesejukan dan menyublimnya
ketenangan, yang secara perlahan merasuki rongga jiwa dan menyesaki bilik-bilik
hati. Deras, menyejarah. Entah sampai kapan. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Agustus 2015
0 celoteh:
Posting Komentar