I
Balantak. Pagi hari. Langit masih gelap. Hitam. Suara adzan
subuh melayang-layang di udara. Merobek keheningan, membangunkan nyawa-nyawa yang masih tertidur untuk bangkit menata jiwa dan hatinya.
Angin dingin menyusup sampai
ke sela-sela kaki. Tubuh yang lelah setelah berkendara sekitar kurang lebih
lima jam dari Luwuk itu harus ditambah dengan pencernaan yang sedikit
bermasalah. Tempat baru memang
selalu mengundang perkara yang satu ini karena
tubuh masih mencari frekuensi yang tepat demi menyesuaikan diri dengan sangkan
paran barunya.
Lelaki
itu sudah terjaga sejak pukul empat
meski ia sebenarnya baru saja tidur pukul dua belas lewat. Belum genap empat jam yang lalu. Matanya pun mulai beradaptasi dengan keremangan ruang
tengah yang dimasuki sinar lampu dari teras depan. Udara yang dingin membuat punggung lelaki itu sedikit menggigil.
Tangan kanannya lalu meraih telepon genggam yang tertanam di
ujung bantal yang empuk dan jemarinya
mulai memenceti tombol yang ada di bagian sampingnya. Seberkas sinar pucat
menyapu wajahnya yang, sudah pasti, masih kusut.
Masih
tidak ada sinyal. Lelaki itu bergumam pelan.
Ia
lalu membaca beberapa pesan yang sempat masuk sejak semalam dan belum bisa dibalasnya
sampai pagi ini. Ada beberapa pesan dari istrinya. Kebanyakan adalah
pesan yang menanyakan apakah lelaki itu sudah sampai di Balantak dan pesan-pesan
lain bernada kekhawatiran karena ia tak kunjung membalas pesan-pesannya yang
menumpuk. Ada pula pesan dari supervisornya, teman, dan beberapa orang yang berkepentingan
dengannya hanya teronggok pasrah tanpa bisa dibalasnya.
“Mungkin
towernya sedang bermasalah,” batin lelaki itu dengan wajah yang masih mengantuk.
Rumah ini masih terlelap,
termasuk kedua penghuninya dan seorang teman lelaki
itu yang tidur di kamar depan, Rahmat. Mungkin ia tidur lebih larut dari
dirinya. Karena selepas obrolan mereka berdua yang berlangsung lebih dari dua
jam dan berakhir jam dua belas lewat, teman lelaki itu masih harus menyetrika bajunya
ketika ia sudah nyaris terlelap. Suara meja setrika yang terjatuh menjadi
satu-satunya suara yang didengarnya tadi malam sebelum akhirnya lelaki itu terbuai
ke alam mimpi.
Balantak
pagi hari. Hening.
Lelaki
itu lalu bangkit dari kasur. Usai melepaskan sarung yang meliliti pinggangnya, matanya yang sudah terbiasa dengan cahaya remang-remang itu menuju
kepada sebuah tas ransel berukuran sedang yang tergeletak di sofa. la mengambilnya
dan meletakkan tas berwarna jingga itu di atas kasur, membuka beberapa
kompartemennya dan mengeluarkan handuk kecil, kemeja batik, celana panjang, dan
perlengkapan kamar mandi yang sudah disiapkan oleh istrinya beberapa jam
sebelum berangkat. Ada seulas senyum yang terbit di wajahnya ketika memandangi
barang-barang yang ada di dalam tas itu. Selain barang-barang yang
dikeluarkannya tadi, ada dua kaus, satu celana pendek, satu celana panjang,
minyak wangi, deodoran, lotion anti nyamuk, dan sepasang kaus kaki baru. Istrinya menyiapkan barang-barang seolah ia akan pergi tiga hari.
Ia
lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah dapur dengan langkah berjingkat-jingkat.
Berjalan tanpa suara ke arah kamar mandi dan melakukan ritual paginya. Sekitar sepuluh
menit kemudian, lelaki itu keluar dari kamar mandi. Suasana di dalam rumah
berangsur hidup. Lampu-lampu dinyalakan dan terdengar suara dari arah dapur. Keluar
dari kamar mandi, lelaki itu bersirobok dengan seorang perempuan paruh baya yang
menyapa lelaki itu dengan senyum cerahnya.
“Sudah
mandi?” tanya perempuan itu kepadanya.
“Sudah,
bu,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
“Saya
bisa pinjam sajadah, bu?” lelaki itu bertanya sambil mengusap-usap kepalanya
dengan handuk di tangan kanannya sementara tangan yang satunya lagi menenteng
pakaian kotor dan sebuah plastik berisi perlengkapan mandi.
Masdia
Lamodjong, atau ibu Masdia, nama perempuan paruh baya itu, yang baru saja
hendak ke dapur menghentikan langkahnya dan berjalan ke arah depan.
“Masih
pagi,” katanya sambil melirik ke arah jam dinding. Jam empat lewat lima puluh
menit.
Sudah
agak kesiangan, bu.
Batin lelaki itu sambil tersenyum tipis.
“Sudah masuk waktu subuh, bu,” jawabnya sambil menata barang-barang bawaannya dari kamar mandi itu di atas meja yang ada di ruang tengah.
“Sudah masuk waktu subuh, bu,” jawabnya sambil menata barang-barang bawaannya dari kamar mandi itu di atas meja yang ada di ruang tengah.
Ibu
Masdia keluar dari kamar dan mengangsurkan sebuah sajadah berwarna merah kepada
lelaki itu yang langsung mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Saya
mau shalat subuh dulu, ya, bu,” ujarnya sambil menggelar sajadah di ruang
tengah. Ibu Masdia menyilakannya dan kembali ke dapur.
Lelaki
itu lalu shalat.
Selesai
shalat, ia berjalan ke kamar depan, membangunkan temannya, Rahmat, yang masih
tidur, dan duduk di teras sambil bersandar pada sofa. Ia menghirup udara dalam-dalam. Rongga paru-parunya terisi udara bersih yang beraroma cengkeh dan embun
pagi. Langit beranjak terang. Cahaya bintang-bintang berangsur memudar. Hari
yang muda mulai menggeliat di rumah ibu Masdia. Oh iya, ibu Masdia adalah kepala sekolah SD
Muhammadiyah Balantak.
II
Maka jadilah pagi ini lelaki itu berada di Balantak. Sebuah kecamatan yang
terletak di wilayah kepala burung provinsi Sulawesi Tengah bagian timur.
Jaraknya sekira 130 kilometer dari Luwuk – mungkin lebih, mungkin
kurang – setelah mengukur jalanan yang berliku lagi disesaki debu. Memanjati bukit,
merayapi jalur-jalur sempit. Mencumbui gravel rusak nan berlubang yang silih
berganti dengan aspal mulus bak kulit mangga madu selama kurang lebih
empat setengah atau lima jam lamanya. Meski perjalanan itu harus dibumbui
dengan beberapa, sebut saja, tragedi; menanti datangnya mobil terakhir yang diduga
tersesat di desa Labotan, melacak salah satu mobil lainnya yang mogok lalu meninggalkannya
di desa Boloak, termasuk kisah misteri yang tak terduga memperkaya cerita dari perjalanan itu.
Di
Balantak, lelaki itu tidak sendiri. Bersamanya dan Rahmat, sekitar tiga puluhan
lebih orang tersebar di rumah-rumah yang mengurapi beberapa desa di kecamatan
yang indah ini setelah berkumpul sebentar di rumah camat Balantak. Mereka,
ketiga puluh orang itu, berasal dari latar belakang dan daerah yang berbeda. Meski
demikian, niat dan tekad orang-orang itu beresonansi: menginspirasi anak-anak
Balantak untuk memiliki cita-cita setinggi mungkin, memotivasi mereka bahwa
masa depan yang gemilang adalah hak bagi siapapun anak bangsa yang ada di
kolong langit ini, tak peduli siapa mereka dan darimana mereka berasal. Mereka
menyebut acara itu sebagai Kelas Inspirasi. Lelaki itu, bersama Rahmat dan dua orang
lainnya yang berprofesi sebagai dosen dan nutrisionis, mendapat jatah berbagi
inspirasi di SD Muhammadiyah.
Lelaki
itu dan Rahmat kini sedang duduk saling berhadap-hadapan. Di depan mereka ada
sebuah meja yang dihuni piring, sendok, mangkok kaca berisi air untuk cuci
tangan, sayur tumis, ikan goreng, dan dabu-dabu iris. Aroma gurih dan lezat mewarnai
udara pagi yang segar. Ia mengamati Rahmat, lelaki berambut kriwil, yang sedang
makan di hadapannya. Semalam, selama kurang lebih dua jam, ia berbincang dengan
lelaki yang saat ini bekerja sebagai media relation di perusahaan pertambangan
itu. Ditingkahi suara angin yang menabuhi daun kelapa dan pohon cokelat, kedua
lelaki itu mengobrol hingga larut. Mereka mengobrol tentang banyak hal: buku,
sepakbola, masa kecil, musik, cita-cita, dan sejarah sepele di atas tanah yang
indah ini. Mata yang berair dan mulut yang kerap menguap jadi spasi yang
menjeda obrolan yang padat itu.
Pagi ini,
keduanya kembali bertemu di atas meja makan, menikmati sarapan yang telah
disiapkan ibu Masdia. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Rahmat tentang
acara Kelas Inspirasi hari ini. Ada rona keraguan di mata lelaki itu yang perlu
dikuatkan dengan kata-kata penyemangat dari teman barunya itu. Lelaki itu,
meski telah disemangati, masih belum merasa tenang. Ia merasa seperdelapan
dirinya sedang tegang, sepertujuhnya panik, sepersembilannya gugup, dan
seperlimanya kebingungan. Ia bukan orang yang suka berbicara di depan
anak-anak. Masa mudanya lebih sering dihabiskan untuk berkumpul dengan
orang-orang yang sebaya, atau bahkan lebih tua darinya. Bicara di depan
anak-anak, terlebih anak kecil, adalah hal baru baginya.
Sebenarnya,
masih ada rasa ragu yang berdesakan di dalam dadanya yang pagi itu berdetak tak
seperti biasanya. Lelaki itu lalu mengambil buku yang ada di dalam tas
kecilnya, membacanya sebentar, sekitar dua atau tiga menit, memasukkannya
kembali ke dalam tas kecilnya setelah menaruh pembatas, dan menebarkan
pandangannya ke arah dinding yang dipasangi banyak foto keluarga yang telah
dibingkai. Ia jadi teringat dengan anak-anaknya di rumah. Pagi ini seharusnya
mereka sudah bangun, sudah mandi, dan mungkin sedang makan pisang goreng buatan
mbahnya. Istrinya mungkin sedang menyiapkan bekal untuk anak-anaknya,
memastikan seragam mereka yang wangi itu sudah tersetrika licin, dan sedang
bersiap mengantarkan mereka ke sekolah.
Ia mengambil
ponselnya yang baterainya sudah terisi penuh. Tiba-tiba saja ia ingin
mendengarkan suara mereka semua, istri dan anak-anaknya. Ketika ponsel berkelir
putih itu sudah dikeluarkannya dari dalam tas, cahaya di wajahnya yang sempat
terbit kembali meredup. Masih belum ada sinyal. Ia mengurungkan niatnya menelepon
anak-anak dan istrinya dan berjalan ke teras. Ia duduk di sofa dan mulai
memakai sepatu. Rahmat menyusulnya beberapa detik kemudian. Setelah memastikan
semuanya sudah siap, kedua lelaki itu berpamitan dengan ibu Masdia untuk
berangkat duluan. Ibu Masdia yang ramah itu mengingatkan keduanya untuk makan
siang di rumahnya selepas acara nanti. Rahmat, yang berjalan di belakang lelaki
itu, menyanggupinya.
“Kita
jemput Andik dulu?” tanyanya sambil menyalakan mobil dan menghidupkan musik.
Rahmat
mengiyakan.
Lelaki
itu memutar mobilnya ke arah barat. Gemuruh di dalam dadanya masih belum jua
mereda. Ia merapalkan sebait dua bait doa yang dihafalkannya. Mengharap
ketenangan dariNya menyusup ke dalam kalbunya dan menghalau kegelisahannya. Wajah ketiga putrinya kembali membayang di pelupuk matanya.
Mobil
berkelir hitam yang diselimuti debu itu kemudian membelah jalanan desa dan bergerak
menjauhi matahari yang baru terbit.
bersambung.. [wahidnugroho.com]
Kilongan, September 2015
jadi tidak sabar dengan kelanjutan kisahnya....hehe
BalasHapus