III
Rumah bapak Manto yang menjadi tempat
persinggahan Andik tadi malam sudah tampak. Beberapa orang sedang duduk-duduk
di pinggir jalan. Mobil-mobil pick up yang terisi pakaian jadi diparkir tak
jauh dari tempat mereka duduk sambil berbincang dan mengepulkan asap rokok. Angin
bertiup dari arah bukit yang mendongak di sebelah utara rumah. Lelaki itu lalu
memutar mobilnya ke arah timur, Andik muncul dari balik pintu dan
memanggil-manggil kepada Rahmat dan lelaki itu untuk segera mendekat kepadanya.
Ada teh dan kue yang sudah disiapkan oleh tuan rumah untuknya dan Andik seolah
meminta bantuan kepada Rahmat dan lelaki itu untuk ikut menghabiskannya.
Lelaki itu dan Rahmat turun dari mobil dan
melangkah ke dalam rumah. Mesin mobil dibiarkan menyala. Terdengar suara musik
dari dalam mobil. Rahmat menunggu di teras sementara lelaki itu masuk ke dalam
rumah. Secangkir teh yang uap panasnya menari-nari di atas permukaannya yang
berwarna cokelat tua terhidang di atas meja bersama kue dadar gulung isi
kelapa. Setelah menyeruput satu dua tegukan, lelaki itu memberi kode kepada
Andik untuk segera berangkat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh
lewat dan pagi ini akan ada upacara bendera di sekolah. Setelah meminta diri
kepada pak Manto selaku tuan rumah, mereka bertiga masuk ke dalam mobil yang
langsung membelah jalanan dengan kecepatan perlahan.
Dalam perjalanannya menuju SD Muhammadiyah
Balantak, lelaki itu terkenang dengan seorang guru yang pernah mengajar
matematika ketika ia kelas 2 SMP belasan tahun yang lalu. Sebut saja nama guru
itu ibu Rina. Ibu Rina biasa mengenakan blus yang senada dengan roknya ketika
mengajar. Kadang berwarna pink, krem, atau abu-abu tua. Rambutnya mengembang
dan mirip dengan potongan rambut Tina Turner di tahun 90an. Ibu Rina biasa
mengendarai sepeda motor Honda C50 berwarna merah ke sekolah.
Lelaki itu biasa berpapasan dengan ibu Rina di
jalan Kreo, di jalan Kejaksaan, jalan Muchtar Raya, atau di sepanjang jalan
Cipadu Raya ketika ia bersepeda ke sekolah. Ibu Rina adalah guru yang tidak
banyak bicara kecuali saat mengajar. Pembawaannya yang tenang dan pendiam
kadang dimanfaatkan oleh para siswanya yang tidak pernah memerhatikan pelajaran
yang dibawakannya. Pernah suatu hari ibu Rina marah kepada para siswanya yang
tidak mau mendengarkan ia dan meninggalkan kelas begitu saja dengan wajah
memerah sambil menahan tangis. Lelaki itu termasuk salah satu siswa yang merasa
bersalah karenanya. Suatu ketika, lelaki itu pulang dari sekolah dengan
menumpang angkot. Didapatinya ibu Rina sedang menuntun sepeda motor antiknya yang mogok di sebuah
jalanan yang sedikit menanjak. Dari dalam angkot yang semakin menjauhi sosok
ibu Rina, lelaki itu memandangi peristiwa itu dengan pandangan penuh arti.
Barangkali, peristiwa itulah yang kemudian
menjadi titik balik lelaki itu untuk bercita-cita menjadi seorang guru -- meski akhirnya cita-cita itu kandas karena masalah biaya. Sebuah
cita-cita yang belum pernah terpikirkan oleh lelaki itu sebelumnya meski
sepanjang hidupnya ia telah bertemu dengan banyak guru di sekolahnya. Ia
teringat dengan guru kelasnya yang sabar ketika ia masih SD dulu, juga dengan
wali kelasnya di SMP yang belum lama ini meninggal karena sakit. Ia teringat
dengan mantan wali kelasnya yang lain ketika masih SMP yang pernah menampar
wajahnya hanya karena masalah salah paham sepele. Tamparan yang masih menyisakan
rasa sakit di dalam hatinya karena kedua orangtuanya, orangtua kandungnya
sendiri, tak pernah menampar wajahnya. Meski demikian, lelaki itu tetap
berbesar hati dan mengalah. Ia akhirnya mendatangi rumah sang wali kelas,
meminta maaf – meski ia tidak pernah merasa bersalah – dan menutup hari itu
dengan sebuah pelajaran hidup bagi dirinya yang masih belia: bahwa hidup
terkadang memang tidak adil.
Balantak mulai menggeliat. Terpal-terpal aneka
warna sudah mulai digelar di pinggir-pinggir jalan. Terpal itu akan dipakai
sebagai tempat menjemur cengkeh. Aroma manis bercumbu dengan udara pagi yang
masih segar. Mobil yang mereka tumpangi membelok ke rumah jabatan camat
Balantak. Beberapa orang tampak sudah ada di pelatarannya. Setelah memarkir
mobil dan menurunkan kedua penumpangnya, lelaki itu berdiam sejenak di dalam
mobil. Rahmat sudah mengeluarkan kamera dan berjalan entah kemana untuk merekam
suasana pagi yang indah ini. Lelaki itu keluar sebentar, menyapa beberapa orang
yang sedang berdiri di dekat situ, dan kembali duduk di dalam mobilnya.
Dikeluarkannya buku yang sejak sepekan terakhir ini selalu mengisi tas kecilnya
dan ia mulai membaca.
Satu persatu mobil peserta Kelas Inspirasi
sudah mulai berdatangan. Anak-anak berseragam sekolah mulai tampak satu demi
satu. Ada yang berjalan kaki sendiri-sendiri, berjalan dalam rombongan kecil,
diantar oleh orangtuanya, dan ada yang membawa kendaraan sendiri. Lelaki itu
melongok ke bagian belakang mobilnya, mencari-cari makanan ringan dan air mineral kemasan. Setelah
yang dicarinya sudah didapat, lelaki itu kembali larut dalam bacaannya.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu menyudahi
bacaannya, menaruh pembatas di tempat bacaannya yang terakhir, dan keluar dari
dalam mobil. Para peserta sudah banyak yang datang, lengkap dengan ‘seragam
kebesaran’ mereka masing-masing. Setelah berbincang sejenak dengan beberapa
inspirator dan panitia, menanyakan kondisi dan kesiapan mereka terhadap acara
hari ini, dan melempar canda dengan satu dua orang, lelaki itu lalu memberikan
isyarat kepada teman-temannya untuk masuk ke dalam mobil. Rahmat pergi entah
kemana. Lelaki itu menggumam pelan dan menduga bahwa Rahmat sudah berjalan kaki
lebih dulu ke sekolah yang jaraknya tidak seberapa itu. Lelaki itu berkata
kepada ketiga orang temannya; Andik, Gian, dan Tuti, untuk segera masuk ke
dalam mobil. Tuti meminta kepada lelaki itu untuk membuka bagasi belakang
mobil. Ia ingin memeriksa beberapa barang bawaannya terlebih dahulu sebelum
berangkat. Setelah memastikan barang-barang itu ada, pintu belakang lalu
ditutup dan semua orang segera naik ke dalam mobil. Andik bertanya kemana
Rahmat dan lelaki itu menjawab sekenanya, “Mungkin dia lagi merekam matahari
terbit.”
Angin bertiup dari arah timur. Menerbangkan
debu-debu di jalanan. Menggoyangkan batang-batang pohon kelapa yang menjulur
bak penari yang sedang melenggak-lenggokkan tubuhnya. Angin, pohon kelapa,
penari. Mendapati pemandangan tersebut, lelaki itu langsung teringat dengan
buku Bekisar Merah yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Sebuah buku yang getir dan
penuh kegamangan.
Matahari makin meninggi. Lelaki itu melirik jam
di ponselnya, memperbaiki posisi duduknya, dan kembali menyetel musik. Mobil kembali
bertolak ke arah barat. Jalanan Balantak sudah disesaki dengan manusia aneka
rupa. Mobil-mobil berplat kuning beberapa kali melewati mereka. Anak-anak kecil
berseragam sekolah berjalan perlahan di sisi jalan. Orang-orang berseragam
linmas hilir mudik kesana kemari. Seorang bapak paruh baya berjalan sambil
membawa bungkusan terpal berisi cengkeh. Atap SD Muhammadiyah yang berwarna
biru sudah tampak dari kejauhan. Mobil berbelok ke sebuah lorong yang disesaki
hamparan terpal tempat menjemur cengkeh di kiri dan kanan jalan. Seorang lelaki
bertopi, berkaus putih, dan bercelana pendek tampak sedang meratakan
cengkeh-cengkeh yang masih berwarna hijau. Gugup yang menguasai lelaki itu
masih belum jua pergi.
bersambung… [wahidnugroho.com]
Tanjung, September 2015
0 celoteh:
Posting Komentar