"Ia," tutur Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna tentang putra sulungnya, Hasan Al Banna, "selalu mengadakan perjalanan olah ruhani. Keluar negeri untuk menuntut ilmu. Mengelilingi setiap sudut kota semata untuk mencari buku-buku, laiknya seolah ulama Cordoba yang sedang berkeliling pasar dalam rangka mencari toko buku. Ia seringkali didatangi para ulama dari berbagai daerah untuk membahas berbagai persoalan atau melakukan penelitian dari rencana buku yang akan disusun."
Syaikh Abdurrahman Al Banna selalu memanggil putranya itu dengan panggilan "Ustadzku" atau guruku, padahal beliau adalah ulama hadits dan penyusun kitab Fathul Rabani Li Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibani, sebuah kitab babon berdurasi 20+ juz yang membahas tentang fiqih Hambali, yang disusunnya selama 11 tahun di sela-sela pekerjaannya sebagai seorang tukang reparasi jam.
Ketika Hasan Al Banna syahid diberondong peluru makar, Syaikh Ahmadlah yang menjemput jenazahnya di rumah sakit, menshalatkan dan menguburkannya bersama dua anaknya yang lain karena pemerintah Mesir, negeri yang begitu dicintai oleh sang putra, melarang orang-orang untuk hadir di pemakamannya.
Dalam eleginya, Syaikh Ahmad Abdurrahman menulis kelapangan hati akan musibah tersebut sebagai berikut:
"Wahai anakku, aku teringat saat engkau terbunuh di tengah malam gulita. Engkau dibawa dalam keadaan berlumuran darah. Jiwamu melayang. Badanmu terkoyak-koyak. Setelah ular hutan belantara pergi, ternyata ular erkepala manusia datang menggigitmu. Semua ini adalah bagian dari takdir Allah semata."
"Ketakutan ini pun terjadi. Musibah ini tak dapat kuhindari. Wahai belahan hatiku, ketika kusingkap wajahmu, air mata ini mengalir deras. Hatiku terasa perih. Dan aku tak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan kata-kata yang diridhai Allah: innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun."
"Wahai anakku," lanjut Syaikh Ahmad, "aku seorang diri memandikan jasadmu, mengkafani dan menyalatimu. Aku juga yang berjalan mengiringi jenazahmu. Kuserahkan semua urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hambaNya."
Sepanjang hayatnya, Syaikh Ahmad menjadi penyokong utama dakwah anaknya yang tertuang dalam wadah jamaah Al Ikhwan Al Muslimun. Ketika aset milik jamaah dan keluarga Hasan Al Banna diberangus oleh pemerintah Mesir, Syaikh Ahmad tetap bersetia mendampingi tumbuh kembang jamaah dakwah ini di masa-masa tribulasi yang penuh fitnah dan cobaan dengan hati yang tegar.
Beliau wafat pada usia 67 tahun, atau delapan tahun setelah syahidnya sang putra. [wahidnugroho.com]
Kilongan, September 2015
Minggu, 27 September 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar