Pelataran parkir
Mall Panakukkang tampak lengang. Suara cericit burung terdengar lemah dari pepohonan
yang menyesaki tempat parkir itu. Jalanan Pengayoman juga tampak sepi. Berkas-berkas
sinar mentari pagi berangsur menerang di ufuk timur. Terdengar deru suara
knalpot motor dari kejauhan, dibarengi lantunan suara orang mengaji dari sebuah
pengeras suara masjid entah dimana. Saya masih tidur-tiduran di kamar hotel
Amaris, menggenggam sebuah buku di tangan dan memandangi kamar hotel tempat
saya tinggal malam ini yang berukuran sekitar 3x6 meter.
Kemarin siang,
pesawat yang membawa saya dari Luwuk mendarat dengan sempurna di Bandara Sultan
Hasanuddin, Maros. Meski sempat dilanda turbulensi hebat dua puluh menit
sebelum mendarat, perjalanan kemarin pada umumnya cukup menyenangkan. Saya menghabiskan
seratus dua – atau seratus tiga – halaman buku George Orwell yang saya baca
sejak menunggu pesawat di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Kedatangan saya
di Makassar adalah untuk menghadiri acara IHT e-Audit di Kanwil DJP Sulselbrata
selama 3 hari bersama teman seruangan saya, Pavit. Ini adalah kunjungan kedua
saya di Makassar yang mengambil durasi cukup panjang setelah kali pertama
mengunjungi kota ini selama 2 hari pada tahun 2007 silam.
Sampai di
Makassar, teman saya, Pavit dan Haji Anca, sudah menunggu di pintu arrival.
Haji Anca menjemput saya dan Pavit dengan mobil Rush hitam milik keluarganya. Ia
memang sudah berada di Makassar lebih dulu bersama dengan Rido untuk menghadiri
acara Forum Penagihan di Hotel Aston. Cuaca di Makassar terik dan panas. Setelah
menaruh barang bawaan di bagasi belakang, mobil yang saya tumpangi membelah
lalu-lintas yang tidak terlalu ramai.
Mula-mula
Haji Anca mengajak kami ke kompleks GKN, sepertinya ia sedang ada perlu dengan
Budi, teman sekantor saya lainnya yang sedang ada acara di Kanwil. Sekitar lima
belas menit, Haji Anca keluar dari gedung Kanwil dan mengajak kami ke hotel
Amaris untuk melihat-lihat kondisi kamar karena Budi menginap di hotel itu
sampai besok, sekaligus menunaikan shalat zuhur. Selesai dari Amaris, saya dan
rombongan bertolak ke Lotte Mart Panakukkan untuk mencari makan siang.
Waktu sudah
menunjukkan pukul tiga kurang beberapa menit. Setelah sempat kembali ke hotel dengan
berjalan kaki karena handphonenya ketinggalan, Haji Anca mengajak kami ke dalam
mall. Kami bertiga makan siang di D’Cost, di lantai 3 mall. Saya memesan sayur
asam, tahu goreng, dan tempe bakar, sedangkan Pavit memesan mie goreng dan Haji
Anca memesan nasi goreng.
Selesai makan,
kami berkeliling mall sebentar. Saya ingin mencari kaus untuk anak-anak sebagai
oleh-oleh. Setelah berkeliling sebentar di Matahari, saya mendapatkan empat
kaos putih lengan panjang untuk anak-anak, kemeja putih lengan panjang untuk
saya, dan sebuah kaos hijau toska lengan panjang untuk istri. Usai mencari oleh-oleh
untuk anak-anak dan istri, saya mengajak kedua teman saya ke Gramedia untuk
mencari buku. Meski saya sempat distop selama beberapa menit oleh sales
perkakas rumah tangga yang memberikan penjelasan kepada saya seputar produk
jualannya, saya akhirnya menyusul Pavit dan Haji Anca ke Gramedia.
Berkunjung ke
toko buku adalah ritual yang harus saya lakukan ketika berkunjung ke kota-kota
besar. Ritual yang saya mulai sejak tahun 2007 ketika saya datang ke sebuah kota
kecil yang tak memiliki toko buku bernama Luwuk. Maka, kedatangan saya ke
Makassar ini harus pula disambut dengan pesiar ke toko buku. Saya lalu membeli
lima buku: Pulang karangan Leila S. Chudori, Trilogi Otobiografi Bung Hatta,
Buku Ini Tidak Dijual karangan Henny Alifah, Sabar Ya Nak karangan Kusnandar,
dan On Writing Well karangan William Zinsser. Khusus buku yang saya sebutkan
terakhir, buku itu sebenarnya sudah lama saya cari-cari di toko buku online,
tapi saya selalu kehabisan. Pernah suatu hari saya mau membelinya di sebuah
situs jual beli tapi urung. Beruntung saya mendapatkannya di Makassar.
Selesai dari
Gramedia, kami semua pulang. Telapak kaki saya sudah terasa nyaris remuk pasca menyisiri
mall selama kurang lebih tiga jam. Saya sengaja mengakhirkan shalat jamak. Sampai
di hotel, Budi menyambut kami. Saya mengambil kamar sendiri terpisah dengan
Pavit. Setelah mandi dengan air dingin dan berganti baju, saya mengecas
handphone yang baterainya sudah sekarat, membongkar segel buku-buku yang sudah
saya beli, membacai sinopsisnya di bagian belakang satu demi satu secara
sekilas, merapihkan barang-barang bawaan, meneguk nyaris setengah botol air
minum, menyalakan semua lampu, dan mulai membaca pengantar buku Otobiografi Bung
Hatta.
Sekitar dua
jam saya berdiam di kamar. Membaca buku yang baru saya beli secara bergantian, meneruskan
membaca Orwell sambil berbaring di tempat tidur. Perut saya terasa lapar. Saya lalu
keluar hotel untuk mencari makan. Sebuah warung sarilaut pinggir jalan menjadi
pilihan saya. Saya memesan lele goreng dan segelas es teh. Selesai makan, saya
berjalan sebentar ke atm untuk membeli pulsa yang sudah habis sejak dari mall,
dan kembali ke hotel. Perut sudah kenyang. Saya meneruskan bacaan yang tertunda
sampai waktu menyentuh pukul sebelas lebih beberapa menit. Mata saya tak
kunjung mengantuk meski badan ini sudah capek bukan main. Tempat asing selalu
membuat saya perlu menyesuaikan diri terlebih dulu sebelum mulai memejamkan
mata. Saya membayangkan wajah mamak yang sedang ada di Madiun, wajah istri yang
saya tinggalkan tadi pagi, dan wajah ketiga putri saya. Mereka semua pasti
sudah tidur malam ini, batin saya.
Matahari sudah
mulai meninggi meski sinarnya masih sedikit lemah. Waktu sudah menunjukkan
pukul enam dan kamar saya masih cukup berantakan. Saya harus membereskan
barang-barang saya, mandi, dan bersiap-siap untuk pergi ke Kanwil, dan tersadar
bahwa ikat pinggang saya tertinggal di rumah! Acara pembukaan akan dimulai
pukul setengah delapan pagi dan Haji Anca akan menjemput kami pagi ini. Semoga hari
ini menyenangkan. [wahidnugroho.com]
Makassar,
September 2015
Terimakasih banyak atas informasinya. Ceritanya sangat menarik sekali
BalasHapus