Oleh:
Wahid Nugroho
Warga
Biasa, PNS di Kemenkeu, dan Pengelola Rumah Baca Jendela Ilmu
Avant-propos
Pilkada serentak yang
akan dihelat pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang rasa-rasanya hanya tinggal menghitung
hari. Hiruk-pikuk mengemuka di berbagai sudut kota. Baliho-baliho dipasang,
posko pemenangan aneka rupa didirikan, para relawan direkrut, dan agenda-agenda
konsolidasi dilakukan siang sampai malam, bahkan sampai bertemu dengan siang
lagi. Tujuannya jelas: menjadi pemenang yang dapat merebut suara rakyat dan
dipercaya sebagai bupati dan wakil bupati Banggai periode selanjutnya.
Di luar fenomena yang
lazimnya terjadi dalam setiap perhelatan pemilihan kepala daerah, ada fenomena lain
yang muncul dari sudut yang ada di sebelah sana: Media Sosial. Sebuah sudut
yang tampak sunyi di permukaan namun hidup dan dinamis. Bahkan terkadang keras
dan panas.
Media Sosial Pilar
Kelima Demokrasi?
Leonard Kleinrock dan
Vint Cerf barangkali bisa disebut sebagai Penemu Internet dan Bapak Internet
Dunia. Namun, internet yang diibaratkan sebagai negara itu tidak akan berarti
apa-apa tanpa adanya warga yang menjadi penghuninya. Penghuni internet itulah
yang disebut sebagai netizen. Dan bicara soal netizen, maka
Michael Hauben adalah sosok yang paling tepat dijuluki sebagai Bapak Netizen
Dunia. Wajar, karena istilah netizen itu sendiri ditemukan oleh dirinya.
Pada tahun 1992,
Michael Hauben, akademisi Columbia University yang meninggal di usia muda
karena kecelakaan, pernah membuat sebuah artikel yang menjadi cikal bakal
lahirnya istilah netizen di dunia maya. Artikel itu berjudul The Net and
Netizens: The Impact the Net Has on People's Lives, atau Internet dan Netizen:
Dampak Internet Terhadap Kehidupan Manusia. Artikel itu kemudian menjadi cikal
bakal buku yang berjudul Netizens dan diterbitkan oleh The Computer Society.
Lahirnya internet dan semakin berdatangannya netizen dari seluruh penjuru
dunia, membuat internet menjadi semacam ruang publik baru yang tidak memiliki
sekat-sekat wilayah.
Jürgen Habermas
menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari
negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga
negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini
berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang
ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Itulah sebabnya, filsuf legendaris asal
Jerman itu sepertinya perlu mengekskalasi teorinya tersebut ke ranah dunia maya,
dimana ruang publik baru yang lebih majemuk dan dinamis telah tercipta paska
meledaknya fenomena media sosial sepuluh tahun terakhir, serta menganalisis
pola interaksi yang terjadi di dalamnya. Ruang publik baru yang memungkinkan
siapapun dan dengan latar belakang sosial apapun berbicara dan berpendapat
selama ia terhubung dengan koneksi internet.
Dengan adanya ruang
publik yang baru ini, sebuah teori yang berbunyi “Pers Sebagai Pilar Keempat
Demokrasi” yang ditawarkan oleh Fred S. Siebert lebih dari lima puluh tahun
yang lalu perlu dikaji ulang. Sebabnya adalah, dunia jurnalisme saat ini sudah
berkembang terlalu pesat. Media sosial, dalam banyak kesempatan, bahkan telah
menggantikan posisi media-media arus utama dalam hal kecepatan dan ketepatan
penyampaian berita.
Berangkat dari
penjelasan di atas, Hermawan Kertajaya pernah merilis sebuah survey yang
diadakan oleh Mark Plus Insight bekerja sama dengan Komunitas Marketeers.
Survey yang dilakukan berdasarkan analisis hasil riset sindikasi terhadap 1.500
responden di delapan kota besar Indonesia dengan rentang usia 15-64 tahun itu
menghasilkan sebuah kesimpulan berjudul Media Sosial Sebagai Pilar Kelima
Demokrasi dan dirilis oleh situs Kompas pada tahun 2010 silam.
Dalam tulisan tersebut,
Hermawan mendedahkan dua sisi mata uang media sosial: baik dan buruk. Baik
karena media sosial memungkinkan semua orang mengetahui apa yang sedang terjadi
di sekitar mereka, termasuk memberikan opini dan sudut pandang lain sesuai
dengan apa yang mereka tahu. Media sosial juga bisa berakibat buruk jika
digunakan sebagai sarana meneror, memfitnah, melakukan black campaign,
pembohongan publik, dan penipuan. Dengan demikian, kehadiran internet dan media
sosial ternyata bisa semakin meningkatkan partisipasi masyarakat terkait dengan
isu-isu publik. Kondisi ini menyebabkan peran media sebagai pilar ke empat
demokrasi, bisa dibilang, semakin terancam.
Melalui Facebook dan Twitter,
masyarakat bisa menggalang kekuatan sendiri untuk menolak kebijakan pemerintah
yang dirasakan bertentangan dengan hati nurani masyarakat.
Kita tentu masih ingat
dengan peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 dimana media arus utama, ketika itu
Metro TV, menayangkan secara berulang-ulang video yang direkam oleh seorang
warga Aceh yang menjadi korban tsunami. Kita juga ingat dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia maya, dimana peristiwa itu turut
mempengaruhi perspektif media arus utama, seperti kasus Prita vs OMNI, Cicak vs
Buaya, fenomena Jasmev saat pilkada DKI Jakarta dan Pemilu 2014, dan sebagainya.
Kita pun tentu masih ingat pula dengan hashtag bertajuk Mumbai Attack di
Twitter beberapa tahun lalu ketika terjadi serangan teroris di Mumbai dan warga
yang berada di dekat kejadian melaporkan detik demi detik peristiwa yang tidak
tercover media arus utama melalui laman twitter dan facebook. Sebuah laporan
tanpa henti dari para warga yang “memaksa” media-media arus utama untuk
menayangkan hashtag realtime itu ke dalam ruang berita mereka.
Belakangan, karena semakin massivenya media sosial dan jurnalisme warga
(citizen reportage), Metro TV bahkan menyediakan acara khusus bertajuk Wide
Shot. Acara itu dibuat untuk menampung berita-berita yang terlewat dari pandangan
media arus utama. CNN bahkan telah melakukannya jauh lebih dulu dengan
menyediakan program bernama i-Report, acara yang menayangkan video-video
warga yang mengabarkan segala hal yang terjadi di sekitarnya.
Pilkada Banggai
Memasuki Era Cyber
Sekarang waktunya
merefleksikan kajian ini dalam skala lokal: Pilkada Banggai.
Ada perbedaan yang
cukup mencolok dari pemilihan kepala daerah tahun ini jika dibandingkan dengan
yang terjadi pada tahun 2011 silam. Ketika itu, media sosial belum terlalu booming
di kabupaten Banggai. Penggunanya pun sebagian besar hanya anak-anak muda yang
belum memiliki kedewasaan memadai di dunia maya. Postingan-postingan mereka pun
hanya diisi dengan curhatan kosong, caci maki tanpa makna, dan tulisan-tulisan
yang remeh-temeh. Sangat jauh dari hasil analisa Hermawan Kertajaya yang sudah
kita sebutkan sebelumnya.
Namun sejak tahun 2014,
ketika ledakan media sosial mencapai klimaksnya dalam percaturan dunia politik
nasional, para pelaku media sosial di kabupaten Banggai pun ikut terkena
pengaruh. Linimasa media sosial yang dulunya hanya diisi dengan keluh kesah dan
curhatan personal, kini sudah mulai terisi dengan postingan-postingan yang
lebih berbobot. Komunitas-komunitas bermunculan satu demi satu bak jamur di
musim penghujan. Masing-masing mereka mengusung warna dan ciri komunitas
masing-masing dan mempublikasikan hasil kegiatannya di media sosial seperti
aksi bersih lingkungan ormas OI bersama TNI dan warga, gerakan selamatkan Teluk
Lalong, gerakan cinta membaca, komunitas menulis, komunitas fotografi,
komunitas pecinta alam, komunitas sepeda, komunitas motor, dan masih banyak
lagi.
Ketika pemilihan kepala
daerah semakin mendekat, perilaku para pelaku media sosial di kabupaten Banggai
pun berangsur berubah. Postingan-postingan yang ada sudah mulai membahas
perkembangan dunia politik, siapa mendukung siapa, siapa berpasangan dengan
siapa, program-program kandidat, kegiatan-kegiatan kandidat, dan tidak
ketinggalan: debat para pendukung yang tak jarang berujung pada konflik di
dunia nyata. Penulis artikel ini bahkan menjadi salah satu pihak yang
terkena “cipratannya” meski dalam level yang masih bisa dimaklumi.
Karena media sosial
kini memiliki posisi yang cukup penting dengan kecepatan dan kemudahannya, Komisi
Pemilihan Umum sampai harus “repot-repot” menyusun rancangan peraturan yang
mengatur tentang berkampanye melalui media sosial dalam regulasi tersendiri. Selain
untuk mempermudah pengawasan, pembatasan, dan pendaftaran akun kampanye di
media sosial juga diperlukan agar sosialisasi informasi kepada masyarakat dapat
dilakukan dengan tepat oleh KPU dalam masa kampanye nantinya.
Penutup
Diskursus tentang
pilkada di era media sosial ini sebenarnya bisa menjadi bahan kajian yang
menarik bagi para pengamat politik, pengamat media, termasuk para pelaku media
itu sendiri. Diskursus tersebut bisa dibilang tema yang baru dan perlu
dianalisa secara lebih mendalam dalam skala kabupaten Banggai. Karena era cyber
membuat segala hal yang ada menggelinding begitu cepat, seperti bola salju yang
makin lama makin besar dan melahap semua yang ada di depannya.
Media massa arus utama
pun kini memiliki tugas tambahan yang cukup berat untuk sama-sama mengawal apa
yang disebut oleh jurnalis senior Kompas, Pepih Nugraha, sebagai Revolusi Sunyi
ini agar tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat dan guyub,
produktif dan kreatif, tanpa harus mematikan daya kritisnya terhadap apa saja
yang terjadi di sekitarnya. Hati yang bersih, pikiran yang terbuka, dan itikad
yang baik harus senantiasa dikedepankan untuk mendampingi tumbuh kembangnya
fenomena baru yang menggembirakan di satu sisi, dan mengkhawatirkan di sisi
yang lainnya ini.
Mari belajar
bersama-sama.
Sebenarnya tergantung dari kita aja bagaimana menggunakan sosial medianya. Karena pada dasarnya jika kita pandai memanfaatkan media sosial maka semua akan baik-baik saja
BalasHapus