Istriku
bercerita tentang ci Fidel, putri tengahku, ketika ia sedang menjaga stand
Rumah Baca Jendela Ilmu di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah kemarin.
“Bi,
kemarin aku liat ci Fidel ngambil buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya, semacam
novel karya anak-anak usia 10-15 tahun) trus dia buka-buka itu buku. Mukanya
serius sekali, bi,” urai istriku.
“Waktu itu,”
lanjutnya, “ada ibu-ibu pegawai Perpustakaan Daerah yang bilang ke aku, ‘Bagus
ya anak-anaknya senang baca buku.’ Mungkin dia bilang begitu karena ngeliat ci
Fidel yang lagi asyik baca. Langsung aku jawab ke ibu itu, ‘Dia belum bisa baca
bu. Dia cuman liat-liat bukunya aja.’ Kayaknya ci Fidel udah waktunya diajarin
mbaca, bi” pinta istriku.
Aku tersenyam-senyum
sendiri saat mendengar cerita itu. Gambaran putri keduaku yang sedang membaca dengan
berbagai posenya langsung membayang di kepala. Memang di antara ketiga anakku,
putri tengahku ini adalah anak yang paling tekun, meski kecepatan menalarnya tidak
seprogresif kakak dan adiknya. Dia juga anak yang paling cuek dan nggak terlalu
ambil pusing sama lingkungannya. Dia tipe anak yang akan melakukan apa yang
disukainya, berbeda dengan kedua saudarinya yang rada-rada jaim dan suka merhatiin
apa kata orang tentang mereka.
Ci Fidel
memang belum bisa membaca. Umurnya baru lima tahun setengah. Dia baru mengenal
huruf dan masih kesulitan mengeja kata. Berbeda dengan kakaknya yang nyaris
tidak kuajari membaca karena sudah bisa membaca sendiri sejak usia lima tahun,
Fidel memang sengaja kudiamkan dan membiarkannya belajar sendiri. Sukur-sukur si
kakak mau ngajarin walau ternyata si kakak malah asyik sendiri dengan
kemampuannya.
Sering aku mendapati
ci Fidel duduk di pojokan ruang tamu, angrem di atas kasur yang dilipat
di situ, di tangannya ada komik Kobo Chan atau Detective Conan, dan dia ketawa-ketawa
sendiri waktu membolak-balik halamannya. Waktu kutanya “Fidel lagi ngapain?”
dia akan njawab “Lagi ngeliat buku, bi.” Dia menjawab “ngeliat buku” dan bukan “membaca
buku” hehe. Jujur amat nih anak yak.
“Coba suruh
mbak Azka buat ngajarin dia,” usulku kepada istriku. “Kali aja dia mau.”
Istriku manggut-manggut.
Obrolan tentang
ci Fidel yang pengen bisa baca ini akhirnya jadi tema obrolan kami di mobil waktu
mau mengantar anak-anak ke sekolah tadi pagi.
“Kayaknya
kita memang perlu meluangkan waktu buat ngajarin dia mbaca, mi.”
“Iya, bi. Kasian
anak itu udah suka mau baca tapi belum bisa-bisa,” jawab istriku.
Anak-anakku,
apapun yang terjadi, harus kuajari membaca dan, lebih dari itu, mengajari
mereka agar mencintai buku-buku yang kumiliki di rumah. Seorang teman yang
memiliki koleksi buku ribuan di rumahnya pernah berkata kepadaku yang kurang
lebih demikian: “Aku punya ribuan buku, tapi anak-anak dan istriku nggak ada
yang suka membaca. Sepertinya aku harus bersiap jika kelak buku-buku itu akan
bernasib seperti buku-buku Adam Malik, yang diloakkan secara kiloan setelah
kepulangan pemiliknya karena generasi penerusnya nggak ada yang suka dengan
buku.”
Dan perasaan
akan tiadanya generasi yang akan merawat buku-bukuku ketika aku tiada kelak itu
sedikit banyak menghantuiku juga. Sepertinya aku perlu membicarakan ini dengan
istriku dan menunggu responnya seperti apa. Ini memang tugas yang nggak
gampang. Dan juga berat. Sebagian orang mungkin akan mencibir tugas ini,
menganggapnya nggak-penting-penting-amat dan menyarankanku untuk memikirkan
tugas yang lain. Tapi tidak. Ini tugasku. Apapun kata orang soal tugas itu
bukan masalah buatku. Tidak mengapa. Yang menjadi kekhawatiranku adalah soal buku-buku
itu. Semoga kelak ketika mereka besar, mereka bisa membaca tulisanku ini dan memahami
kekhawatiran abinya ini. [wahidnugroho.com]
Tanjung,
Oktober 2015
0 celoteh:
Posting Komentar