Hari Sabtu sore, seorang lelaki tampak duduk di sebuah batu
kali besar yang teronggok di bawah naungan pohon tanjung. Sebuah potongan papan
dijadikannya alas duduk agar terasa nyaman. Angin mengalun lembut, membelai
rumputan, mencumbui dedaunan. Alam bergerak bersama, beresonansi, bersimfoni. Lalu
lintas yang melengkungi taman itu tidak terlalu ramai. Satu dua kendaraan
berlalu. Segerombolan anak muda berjalan menuju kantor Telkom yang berjarak selemparan
batu dari tempat lelaki itu duduk. Seorang pekerja bangunan tampak mengamati lelaki
itu dari balik pondasi padepokan pencak silat yang pengerjaannya belum jua
rampung setelah sekian lama itu.
Untuk mengisi waktu, awalnya lelaki itu ingin membaca buku
sebagaimana kebiasaannya yang selalu membawa bahan bacaan di dalam tasnya. Tapi
ternyata buku yang dicarinya itu tertinggal di mobil yang diparkir di pinggir
jalan sana. Lelaki itu kemudian melongok lagi ke dalam tas selempangnya dan
mendapati sebuah buku catatan berkaver hitam koral. Lelaki itu lalu
mengeluarkannya, membuka kompartemen lainnya yang cukup banyak itu demi mencari
pensil atau pulpen atau alat tulis apapun yang ada di sana. Ia lalu menemukan
pulpen berujung kecil dengan tinta hitam yang sedikit meluber di bagian
ujungnya. Matanya menerawang ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa
menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu. Atau menggambar sesuatu. Sebuah pohon
tanjung, pohon palem, semak bunga bougenville, tiang listrik, rumput kering,
tugu Adipura, aspal yang memantulkan cahaya matahari sore yang lembut, bayang-bayang
Masjid Agung di balik rimbun pepohonan, semuanya itu belum juga membuat
tangannya bergerak.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah pohon kecil yang
tumbuh tak jauh dari tempatnya duduk. Dipandanginya pohon kecil, sepertinya itu
pohon tanjung, yang dedaunannya berwarna hijau tua itu. Desau angin
menggoyang-goyangkan ujung daunnya. Seperti penari yang sedang
melenggak-lenggokkan pinggul dan tangannya seirama nada. Sinar matari sore yang
lembut memagut permukaan daunnya yang sedang bergoyang-goyang itu. Ratusan,
atau bahkan mungkin ribuan, semut merayapi bagian bawah batang pohon kecil itu.
Dunia lalu menciut menjadi hanya antara lelaki itu dan sebatang pohon kecil
dihadapannya itu. Matanya yang sedari tadi tampak gelisah, kini tertuju tajam
pada pohon kecil itu saja. Tangannya bergerak, jemarinya bergerak, isi
kepalanya bergerak. Lelaki itu mulai menggambar sebuah sketsa.
Mulanya adalah sebuah daun, lalu dua buah, tiga buah, dan berlembar-lembar
daun digambarinya. Ia lalu menarik garis lurus dari atas ke bawah, membuat
batang dan cabang-cabangnya yang mungil, mengarsir beberapa bagian, dan membuat
garis-garis yang membentuk tulang daun itu baik secara horizontal maupun
diagonal. Sebuah gerobak bakso dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan
mangkok keramik melewati taman itu. Namun ia tampak bergeming, ajeg dengan
pohon kecil yang sedang digambarnya kala itu.
Selesai menggambar pohon, meski tak sempurna, lelaki itu lalu
menggambar potongan balok kayu yang tergeletak pasrah di dekat pohon kecil itu.
Dibuatnya sebuah garis, lalu dua buah garis, dan garis-garis lainnya yang
bersatu menjadi sebentuk trapesium berdimensi tiga. Diarsirnya beberapa bagian
agar tampak dramatis dan dibuatnya sekerat bayangan yang jatuh di sisi sebelah
kirinya, karena matahari berada di balik punggung lelaki itu yang terlindung
oleh naungan rimbun pohon tanjung.
Setelah pohon dan balok, lelaki itu lalu menambahi aksen
tanah dan rerumputan yang mengelilingi pohon dan balok itu. Mulanya ia menambah
segaris di sebelah kanan, segaris di sebelah kiri, lalu dua tiga dan bertumpuk-tumpuk
garis di sekitarnya hingga membentuk sekumpulan rumput. Atau setidaknya seperti
itulah menurutnya.
Gambar itu belum usai ketika seorang lelaki lainnya
berperawakan besar, memanggul tas punggung, dan bermata agak sipit
mendatanginya dengan senyum terkembang. Lelaki itu menyudahi ritual menggambar
pohon kecil, balok kayu, dan rerumputan yang sejak sepuluh menit terakhir
menguasainya itu dan menyapa lelaki yang baru saja datang itu. Ia menggumam
perlahan, hanya dirinya saja yang bisa mendengar suaranya, bahwa kerja hari ini
ibarat menyemai sebuah bibit yang lahir dari kegelisahan, termasuk juga optimisme,
yang selalu menyemang di dalam lubuk jiwanya yang terdalam. Jauh di dalam
hatinya, lelaki itu merapalkan doa kepada Sang Pemilik Mayapada, agar diberinya
ia kekuatan dan kesabaran, juga ketekunan dan kelapangdadaan, ketika
membersamai tumbuh kembang bibit itu hingga bertemu dengan takdirnya, semoga
takdir yang baik, di masa depan. Semoga. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Oktober 2015
0 celoteh:
Posting Komentar