Maret tahun 2007, saya pertama menginjakkan kaki di Luwuk. Sepanjang kurun waktu itu, belum pernah saya ngalamin yang namanya kabut asap di kota ini sebagaimana yang terjadi selama sebulanan terakhir ini. Kenapa sampe bisa kayak begitu? Saya nggak tau secara persis sebabnya apa. Konon kabarnya, ada pembukaan lahan sawit di dataran Bualemo sana oleh sebuah perusahaan yang dulu pernah saya sambangi. Kabar yang lain menyebutkan karena ada kebakaran lahan cengkeh seluas ratusan hektar di Taliabu. Atau bisa jadi ada sebab lain.
Awalnya, susah untuk mengabaikan kabut asap ini dan saya berprasangka baik bahwa semua ini akan segera berlalu. Tapi nyatanya makin hari makin parah saja. Sudah lama saya nggak liat pulau Peling dari teras rumah. Bukit Halimun yang biasanya keliatan jelas dari Muspratama juga gak keliatan. Saya juga baru tersadar kalau bukit-bukit yang memeluk kota ini jadi tampak berwarna kecoklatan. Pun ketika pulang melewati jalur dua, semak-semak yang tadinya cukup rapat sekarang sudah meranggas dan kering.
Tadi siang saya nganterin temen ke bandara dan kaget bahwa bukit We dan bukit-bukit di belakangnya gak terlihat dari daerah Kilo Delapan. Apatah lagi semenanjung di Luwuk Timur yang biasanya keliatan jelas pas hari cerah, makin gak nampak. Udara pagi yang biasanya segar, belakangan jadi berbau asap pembakaran. Seorang teman yang bekerja di maskapai penerbangan sempat bertanya, apakah tidak ada aksi solat meminta hujan supaya jarak pandang yang semakin terbatas ini bisa dicari jalan keluarnya? Saya bukan dalam posisi yang bisa menjawab pertanyaan itu, sayangnya.
Meski kondisi ini masih dalam level yang bisa ditolerir, saya suka bertanya-tanya, gimana dengan perasaan teman-teman saya yang kabut asapnya luar bisa pekat? Beberapa gambar yang berseliweran di linimasa membuat miris hati ini. Ada yang kabutnya udah macam berdiri di samping pembuat lalampa. Ada anak-anak yang pake selang buat mbantu pernafasan. Mau berbuat banyak tapi kemampuan terbatas. Mau menyalahkan pemerintah mentah-mentah, kok kayaknya kurang mbois juga. Secara masalah ini bukan semata-mata salahnya paduka presiden walopun belio tetap akan jadi sasaran empuk para ahlul-kritik, seperti saya ini salah satunya hahaha.
Di sisi lain, saya senang juga dengan banyaknya kepedulian yang ditunjukkan teman-teman di linimasa saya. Ada yang ngeshare kegiatan relawan, baik relawan partisan sebuah partey maupun relawan umum lainnya, di salah satu hutan yang terbakar, ada yang mbagi info donasi, ada yang posting situasi terkini di beberapa kota, dan ada yang bikin aksi penggalangan dana, sampe memposting sebait dua bait doa.
Apapun itu, semoga masalah asap ini bisa segera reda. Semoga Allah berkenan menurunkan hujanNya kepada bumi nusantara ini (aih, relijius sekali status saya ini hahaha) dan melukis senyum bahagia di wajah para penghuninya. Aamiin.
Saya tahu, ajakan berdoa ini mungkin akan ditanggapi beragam. Emang Tuhan pesbukan? Gitu kata tetangga. Emang Tuhan cuman ngurusin elu doank? Mungkin ada benernya. Buktinya saya masih gendut aja nih (abaikan). Bagaimanapun, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Dan saya percaya itu. Kalo sampeyan nggak mau percaya, ya, mengutip kata-kata baginda, "Itu bukan urusan saya!"
Salam asap,eh, salam doa. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Oktober 2015
Sumber foto: Sarfin Laando
Jumat, 23 Oktober 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar