Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi yang lain, yu Gendis menangis.
Ia ngambek karena nggak ada yang mau memandikannya. Istriku sedang berganti
baju dan aku sedang mengangkut barang-barang ke dalam mobil. Aku dan istri
nyaris berdebat sebelum akhirnya putri sulungku, Azka, mengambil alih menampung
permintaan Gendis. Dengan lembut, dibujuknya sang adik untuk mandi. Ia lalu
menuntun adik bungsunya itu membuka baju dan digiringnya ia ke dalam kamar
mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Aku
tidak memerhatikan bagaimana anak sulungku itu memandikan adiknya. Aku mencoba
mempercayainya dan membiarkannya ngopeni
adiknya.
Mbak Azka sekarang sudah berusia enam setengah tahun. Sudah kelas
1 SD dan sudah bisa membaca sendiri. Ia pembelajar yang cepat tapi mudah bosan.
Meski tak jarang berlaku menyebalkan, ia bisa berbalik seratus delapan puluh
derajat menjadi anak yang manis dan kakak yang penyayang kepada adik-adiknya. Berbeda dengan
ci Fidel yang usilnya nggak karuan, mbak Azka cenderung protektif dengan
adik-adiknya meski kalau egoisnya lagi kumat dia akan jadi kakak paling pelit
sedunia.
Tadi siang, aku membaca buku Munif Chatib yang berjudul
Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata. Buku itu merupakan sebuah novel yang
bercerita tentang anak disleksia. Aku belum membacanya sampai tuntas, baru
masuk ke bab empat, sepertinya. Dituturkan dengan sederhana dan ringkas, meski
objek ceritanya nggak sesederhana dan seringkas gaya berceritanya. Ketika membaca
di bagian awal buku itu, aku langsung teringat dengan momen ketika anak-anakku
lahir ke dunia ini. Selain mbak Azka yang lahir ketika aku sedang shalat subuh
di masjid RSUD Luwuk, kelahiran kedua adiknya aku saksikan secara langsung. Aku
menggengam tangan istriku yang mengejang kuat-kuat ketika itu. Aku masih ingat
dengan suasananya, udaranya, warna langitnya, bau-bauannya.
Kini, telah bertahun-tahun peristiwa yang menakjubkan itu
berlalu. Aku sempat melihat-lihat foto anak-anak ketika mereka masih bayi dulu.
Aku menonton video saat aku memandikan mbak Azka yang direkam oleh istriku, juga
polah-tingkah adik-adiknya yang menggemaskan. Betapa semuanya begitu cepat
lewat. Anak-anak semakin besar, usiaku pun semakin menua, meski aku merasa
masih sangat muda. Sering aku mengamati anak-anak yang sedang bermain bersama
yang kerap berakhir dengan pertengkaran dan tangisan. Memerhatikan mimik mereka
ketika marah, atau menangis, dan tertawa. Di bening matanya, terpantul
kepolosan yang tanpa dosa. Memandangi itu aku langsung teringat dengan dunia
yang fana ini. Betapa beratnya masa depan kalian, nak.
Selesai membaca buku itu, aku menelepon istriku yang sedang
berada di rumah orangtuanya di Simpong. Kutanya apakah anak-anak sudah makan
atau belum, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sudah belanja ini dan
belanja itu atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Sayup-sayup kudengar
suara salah satu putriku di belakang sana. Usai menelepon, aku jadi terpikir
untuk menulis sesuatu, dan jadilah tulisan ini. Aku tak tahu, tulisan ini
membahas tentang apa. Kubiarkan semua mengalir begitu saja.
Semoga Allah senantiasa menjaga keluargaku, dan keluarga
kita semua. Aamiin. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Oktober 2015
Aamiin Yaa Robbal Aalamiin
BalasHapus