Untuk mengucapkan kata di atas secara benar, kita cukup mengingat
nama seorang pesepakbola yang masyhur dari dataran Brasillia: Pele. Huruf e pertama dibaca dengan
menekan bibir bagian atas ke arah depan dan menarik rahang bawah ke bagian
belakang, dan huruf e ke-dua dibaca dengan melebarkan rongga mulut, menarik
pipi ke kedua arah, dan melepasnya dengan lidah sedikit terjulur. Pele.
Saya tidak tahu persis pele
ini berasal dari bahasa apa meski kata ini lumayan sering beredar di masyarakat.
Mungkin kata itu berasal dari bahasa Saluan, atau Banggai, mungkin bahasa
Manado, atau merupakan kata serapan dari bahasa asing. Saya sempat melempar
pertanyaan tentang arti dan asal kata pele
di grup Babasal Mombasa yang ada di whatsapp,
dan jawaban yang saya dapatkan ternyata cukup mengundang rasa ingin tahu.
Dua orang teman saya di grup itu, Reski Sululing dan Ali Sopyan,
menyampaikan pendapat yang kurang lebih sama, bahwa pele bukan berasal dari bahasa Saluan, bukan pula Banggai dan
bahasa Melayu. Ia lebih dekat dengan kosakata khas Manado dan kemungkinan besar
merupakan kata serapan dari bahasa Portugis.
Pele artinya kurang lebih menutup atau menghalangi. Suatu aktifitas yang
membuat pandangan maupun aktivitas kita jadi terhalang karenanya. Mungkin
padanan kata dari pele ini adalah
halang, tutup, palang, atau perboden (Belanda) yang artinya kurang lebih sama. Ali
menyambung, bahwa kata pele ini konon
sebandung maknanya dengan kata lindung yang kerap dipakai oleh orang-orang
Kalimantan.
Konteksnya dalam kalimat demikian:
“Jangan ba pele di situ”
adalah contoh pertama. Misalnya kita sedang menonton televisi dan tiba-tiba ada
seseorang yang menghalangi pandangan kita sehingga kita melewatkan sesuatu yang
sedang kita tonton itu. Bisa juga ketika kita sedang menikmati pemandangan di
teras depan rumah dan tiba-tiba anak-anak berdiri di depan kita. Itu artinya
mereka, anak-anak itu, sedang mempele,
atau ba pele, pandangan kita.
Bentuk lainnya, “Jangan lewat jalan itu, karena sementara dipele.” Maksudnya, jangan melewati
jalan itu karena jalannya sedang ditutup.
Sebab-sebab jalan dipele,
atau jalan ditutup, ada beberapa kemungkinan. Bisa karena pesta, bisa karena
kedukaan (ada yang meninggal dunia), bisa karena kegiatan keagamaan (pengajian,
kebaktian, upacara), atau karena sedang ada sengketa dan konflik yang terjadi
di suatu wilayah.
Benda yang digunakan untuk ba
pele jalan beragam. Kadang pot bunga, kadang kayu balok, atau sebatang bambu
berdiameter cukup besar dan masing-masing ujungnya ditaruh di kursi dan
diletakkan begitu saja menutupi jalan. Untuk level tertentu, tak jarang ada aparat
keamanan yang duduk-duduk di dekatnya. Tak jarang pula, mungkin demi memperjelas, ada papan bertuliskan "Maaf ada pengalihan arus" lengkap dengan semacam Polantas dadakan yang mengarahkan kendaraan ke jalur alternatif (jika ada).
Khusus jalan yang dipele
karena konflik, Luwuk lumayan sering mengalami hal-hal demikian. Khususnya yang
terjadi di sepanjang Trans Sulawesi di daerah Batui, Kintom, Pagimana, atau
Bunta. Sebabnya beragam. Bisa karena ada salah satu warga di daerah itu yang
mengalami tabrak lari sehingga untuk mengusut pelakunya jalan harus dipele supaya polisi bisa mengusut tuntas
siapa pelakunya. Atau sebagaimana yang kerap terjadi di wilayah Kintom ketika
masyarakat melakukan demonstrasi menuntut sesuatu baik kepada pemerintah
daerah, aparat keamanan, maupun perusahaan migas yang berlokasi di sana.
Menurut saya, pele
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang di dalamnya mengandung pola
komunikasi yang unik antara pelaku pele
dengan orang-orang jalannya dipele.
Karena terkadang, hubungan di antara keduanya tidak melulu saklek dan kaku,
apalagi jika orang yang jalannya dipele
ada hubungan keluarga atau karena sebab darurat (sakit, mengejar penerbangan),
maka jalan yang dipele biasanya akan
dibuka. Tentunya sambil menerima pandangan menyelidik dari orang-orang yang mempele jalan.
Saya teringat dengan kisah seorang teman yang sedang dalam
perjalanan ke kota Luwuk dan, celakanya, jalan yang harus ia lalui dipele oleh warga karena suatu sebab. Tak
kurang akal, ia pun akhirnya pura-pura sakit dan teman-temannya yang
membersamainya berakting sedemikian rupa supaya mereka diizinkan melintas.
Hasilnya cukup mengejutkan karena mereka berhasil lolos. Entah karena akting
mereka yang kelewat meyakinkan atau si penjaga pele yang kelewat polos.
Pele jalan, dalam hal yang saya sebutkan di atas, merupakan sebuah cara
yang unik untuk mengekspresikan rasa protes. Ia juga mengandung makna
memperjuangkan hak, meski, ironisnya, harus mengorbankan hak orang lain.
Pada masa-masa awal berada di Luwuk, tahun 2007, saya mengalami
semacam gegar budaya di seputar perkala pele
ini. Sebabnya adalah ketika jalan utama kota ini (jalan Urip Sumoharjo) dipele karena pesta pernikahan. Jika jalan
utama yang membelah kota ini saja sedemikian teganya dipele, maka mempele
jalan-jalan kecil (lorong) tentu akan lebih ringan dilakukan. Akan bisa
dimaklumi jika jalan yang dipele
karena sebab kedukaan seorang warga yang rumahnya tepat di pinggir jalan, tapi
akan sangat disayangkan jika jalan utama itu dipele hanya karena pesta pernikahan. Jangan sampai pernikahan yang
niat awalnya ingin mencari doa restu malah berujung pada caci-maki dan sumpah
serapah dari para pengguna jalan kepada empunya pesta.
Padahal kalau mau dipikir-pikir, ruang publik untuk mengadakan pesta
pernikahan cukup banyak di kota ini meski perkara representatif atau tidaknya
masih bisa didiskusikan. Kalaupun menyewa gedung butuh dana yang tidak sedikit
(meski saya yakin biayanya masih bisa ditolerir), kenapa tidak menggunakan
lapangan sepakbola seperti Bumi Mutiara atau Persibal, misalnya.
Jika perkara mempele jalan
ini dilakukan di lorong-lorong atau di jalan-jalan yang tidak ramai dilewati
kendaraan mungkin masih bisa sangat dimaklumi. Namun ketika jalan yang ada
hanya satu-satunya, adapun jalan alternatif tidak terlalu memadai, maka
keputusan untuk mempele jalan harus
ditinjau kembali. Apalagi, sebagaimana yang kita ketahui bersama, kualitas
jalanan di kota Luwuk sudah tidak lagi sebanding dengan volume kendaraan yang
ada dan terbatasnya jalur alternatif yang memadai, sehingga jika ada satu
kendaraan yang diparkir kurang tepat bisa mengakibatkan antrian yang cukup
panjang sebagaimana yang kerap terjadi di wilayah Bungin. Apalagi di dalam kota
cukup sering berseliweran truk-truk besar.
Pemerintah dan aparat yang berwenang perlu memikirkan kembali hal
ini. Bahwa tidak sembarang orang bisa diizinkan memanfaatkan jalan raya sebagai
tempat mereka menggelar tenda dan melakukan pesta karena pertimbangan
kemaslahatan publik. Bahwa jika memang memungkinkan, warga yang mengadakan
pesta sebisa mungkin melakukannya di sarana-sarana umum yang telah tersedia,
atau . Selain bisa dijadikan sebagai peluang usaha penyediaan aula atau ruang
untuk pernikahan, ini juga berarti pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang
tidak ringan supaya warga yang berhajat tidak sampai merugikan kepentingan
umum.
Di tengah-tengah terbatasnya lahan dan perkembangan kota yang ke
arah sini makin signifikan, upaya untuk mengakomodir kebutuhan warga yang satu
ini mutlak dilakukan. Perkara pele-mempele jalan selalu terkait dengan
tenggang-rasa, toleransi, dan rasa saling menghargai kepentingan publik dengan
mengesampingkan ego pribadi dan kelompok. Sebagai warga yang, saya yakin,
memiliki tingkat toleransi cukup tinggi, saya kira orang-orang di daerah ini
sangat mampu menahan diri dari upaya yang bisa merugikan kepentingan orang
lain.
Panjang lebar bicara soal pele
dan segala tetek-bengeknya, saya dikejutkan dengan protes yang disampaikan oleh
istri saya.
“Ah, abi ini ba carita
soal pele jalan sampai sebegitunya.
Macam te ingat lalu waktu torang
pesta (nikah) juga ba pele jalan (jalan pulau Sumatera,
belakang SPBU Simpong yang mengarah ke Kubur Cina).”
“Tapi itu kan bukan jalan utama,” saya membela diri.
“Sama saja,” ia tak mau kalah.
“Walau torang ba pele di situ, orang masih bisa ambe jalan lain. Coba kamu ba pele
jalan di muka KFC, bukannya bisa bekeng
orang kalang kabut,” balas saya. Semacam standar ganda yang cukup memalukan,
sebenarnya.
Ia merengut. Kalau sudah begitu, ia terlihat makin cantik. [wahidnugroho.com]
Saaba, Juni 2016
Saaba, Juni 2016
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHehehe.. rupanya tukang juga...
BalasHapus