Hubungan Ikhwanul Muslimin dan Raja Farouq, bisa dibilang, tidak pernah harmonis. Ketika terjadi perang di Palestina pada tahun 1948 dan Ikhwan turun andil membantu pejuang Palestina di sana, bahkan konon hingga membuat Israel nyaris kalah karenanya, Raja Farouqlah orang yang memerintahkan milisi Ikhwan untuk dipulangkan dan akhirnya menangkapi mereka sesampainya di Mesir.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan
bahwa Hasan Hudaibi, Mursyid Aam ke-dua Ikhwan, mendapatkan sebuah hadiah dari
seorang pejabat kerajaan berupa gambar Raja Farouq dengan pigura yang sangat indah
dan mewah. Bahkan supaya tampak lebih eksklusif, foto itu juga dibubuhi
tandatangan Sang Raja. Harapan sang pejabat, Hudaibi akan memasang pigura itu
di ruang depan kantor Ikhwan sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah.
Hudaibi kemudian menerima pigura itu
dengan senang hati seraya berjanji akan memasangnya di tempat terbaik.
Mengetahui bahwa Hudaibi bersedia memasang pigura itu, sang pejabat kemudian
pamit untuk pulang.
Hari berlalu namun pigura itu tak
jua dipasang di kantor Ikhwan. Seseorang kemudian bertanya kepada Hudaibi,
di mana gerangan pigura itu ditempatkan.
“Aku memasangnya di rumah,” jawab
Hudaibi kalem.
Sebagian anggota Ikhwan kemudian
berkunjung ke rumah sang Mursyid Aam demi melihat dimana beliau memasang pigura
tersebut. Namun ketika mereka datang, pigura itu masih tidak tampak. Akhirnya
terjadi bisik-bisik di kalangan Ikhwan mengenai di mana beliau memasang pigura
itu.
Ketika itu, salah satu anggota Ikhwan
meminta izin untuk ke kamar mandi. Namun
alangkah kagetnya ia ketika melihat foto itu tergeletak begitu saja di lantai
kamar mandi. Ia pun lalu menanyakan hal itu kepada Mursyid yang menjawabnya
dengan tenang, “Inilah tempat yang tepat baginya.”
Demikianlah Hasan Hudaibi yang
terkenal dengan sikap tanpa komprominya.
Pada tahun 1952, Raja Farouq
digulingkan dari kekuasaannya melalui sebuah kudeta militer yang digawangi oleh
Gamal Abdun Naser. Setelahnya, corak monarki dihapuskan dan Mesir menganut sistem
pemerintahan republik sementara Raja Farouq diasingkan ke Monako sampai akhir
hayatnya.
Ketika revolusi terjadi, banyak
media massa yang awalnya memuja-muji Raja Farouq berbalik menjadi pihak yang
kerap mencaci-maki dirinya di lembar-lembar koran dan di halaman-halaman berita
mereka. Padahal di masa Raja Farouq berada pada puncak kekuasaannya,
media-media itulah yang selalu menjadi corong pemerintah dan selalu memuji-muji
kebijakan raja.
Ketika itu, seseorang menemui Hasan
Hudaibi dan bertanya kenapa ia tidak ikut seperti media-media oportunis yang
mencaci-maki Raja itu. Padahal di masa kekuasaannya, Raja Farouq telah banyak
melukai dan memenjarakan kader-kader Ikhwan. Namun dengan kebesaran hatinya,
Hudaibi melarang kader-kader Ikhwan untuk menghina dan merendahkan martabat
raja yang telah jatuh itu.
Beliau berkata, “Itu (menghina orang
yang sudah terpuruk) bukan sifat seorang ksatria dan bukan ajaran Nabi saw.
Ikhwan tidak akan turut dalam makar jahat dan memperparah kondisi orang yang
sedang terluka.”
Semoga ada pelajaran yang bisa kita
ambil dari kisah di atas.[wahidnugroho.com]
Saaba, Juli 2016