Sudah sering
saya berkata terusterang kepadanya bahwa produk-produk kecantikan itu tidak
berguna banyak, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, baginya. Meski
ia kerap berdalih dan beralasan bahwa itu adalah bagian dari ikhtiarnya merawat
wajahnya yang sudah kelewat terawat itu, saya tetap tidak mengacuhkannya dan
bergeming dengan keyakinan awal: bahwa produk kosmetik itu hanya akan merusak
wajahnya.
Istri
yang kelewat pesolek itu, bagi saya, adalah istri yang terlalu meragukan kesejatian
cinta suaminya. Sebegitunya? Karena mereka beranggapan bahwa cinta suaminya
kepadanya hanya bersifat fisikal semata. Kasat mata dan tergantung pada warna
yang teraba. Maka jadilah bibir digincu sedemikian tebal, rambut yang sudah
lurus halus ditata sedemikian ikal, pipi yang mulus dipupur sedemikian kimpal
dengan dalih agar suaminya betah memandanginya dan tidak berpaling ke perempuan
lain yang jauh lebih menarik daripada dirinya. Aih, lemah sekali cintamu wahai
lelaki!
Saya
bersyukur bahwa istri saya bukan pesolek tulen. Ia, bisa dibilang, adalah
seorang pesolek yang buruk. Bahkan sangat buruk. Setidaknya menurut saya.
Karena ia sudah merebut perhatian saya meski tanpa pulasan ini itu di wajahnya.
Memang, cukup sering ia dipuji oleh teman-temannya perihal wajahnya yang
seperti wajah bayi itu. Pertanyaannya, perlukah pujian-pujian itu ada jika pujian
dari suaminya yang seorang ini sudah berbobot milyaran kali lebih baik dari
pujian-pujian yang jumlahnya hanya satu dua cuil itu?
Beribu
maaf saya kepada para pengusaha produk kecantikan. Bukan saya hendak meragukan
kualitas jualan sampeyan. Sama sekali bukan. Ini soal istri saya, selera saya,
kesukaan saya, subjektifitas saya, yang menganggap bahwa produk-produk yang
beredar itu sama sekali tidak garis lurus dengan kuantitas dan kualitas cinta
saya padanya, istri saya itu. Betapa kehormatan saya serasa dicoreng-moreng
ketika cinta saya kepadanya diragukan lantaran fisiknya yang tak lagi
seginak-ginuk dan seclemeguk seperti dulu?
Padahal,
dengan semakin bertambahnya usia pernikahan, cinta antara suami dan istri itu
sudah harus lepas dari unsur-unsur badaniah ansich. Ketika usia pernikahan
semakin bertambah, masalah cinta tidak lagi diukur dari perkara jerawat di
jidat, pipi terawat, dan bibir berkilat. Sungguh, cinta tidak semanja itu.
Cinta yang sudah
dimakan usia seharusnya sudah jauh naik derajat dan bukan seperti cinta ala remajaremaji
usia dini.
Memang,
istri bersolek sesekali tidak mengapa. Itu sudah bagian dari fitrah kaum hawa. Para
suami pun perlu mengantarkan istri mereka ke salon kecantikan dan perawatan
tubuh. Toh itu buat kebaikan kita, para suami, juga. Saya juga tidak masalah
dengan itu. Wajar, lazim, dan memang sudah seharusnya demikian. Yang jadi
masalah adalah ketika cinta itu sedemikian rapuh dan lemahnya sehingga ia harus
diteteki terus-menerus dengan rupa-rupa fisikal itu. Itu, cinta yang
membosankan semisal itu, sama sekali, bukan cinta versi saya.
Bertahun
lalu, dari sebuah buku, saya mendapati sebuah kalimat dari Ibnu Hazm yang
berkata bahwa “Cinta hilang karena hilangnya sebab. Jika sebabnya abadi maka
cintapun akan turut mengabadi. Jika sebabnya fana maka cintapun hanya
sementara.”
Kurang lebih
demikian bunyinya.
Dari situ, saya
kemudian bertekad bahwa cinta ini akan saya gantungkan pada Sang Maha Segala. Bahwa
cinta yang murni lagi suci lagi sejati itu harus dijauhkan dari aspek-aspek
yang fana, yang sementara, dan dibatasi masa. Termasuk soal pada wajah mulus, kulit
kencang, bibir merekah, dan rambut terurai. Bahwa ada asbab cinta yang lebih
mulia lagi kekal yang tak perlu dipulas gincu pupur sedemikian tebal.
Pada akhirnya, tulisan ini lebih saya tujukan untuk kaum adam ketimbang kaum hawa. Bahwa cintamu seharusnya tidak (selalu) semanja itu. Dan buat kaum hawa, lintasan pikiran ini bukan apologi suami yang kurang bersemangat membelikan produk ini itu buatmu. Ini hanya soal selera dan citarasa perkara cinta.
Terakhir, terkenang
saya dengan sepenggal syair Anis Matta:
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
Rindu mengelus rindu
Kiranya
demikian. [wahidnugroho.com]
Saaba, Juli 2016
Seperti Kata Kata Mutiara
BalasHapus