Kegagalan yang pertama adalah dengan gadis yang berasal dari desanya sendiri. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu cantik. Namun lelaki itu tetap memutuskan untuk menambatkan hati kepadanya. Ia lebih memilih untuk jatuh cinta pada akhlak yang abadi ketimbang raga yang fana.
Tiga tahun kemudian setelah lelaki itu merampungkan studinya di luar kota, lelaki itu kembali ke desanya. Cinta lelaki itu kepada sang gadis desa masih ada dan lelaki itu sangat berharap untuk segera menikahinya. Tapi apa lacur? Gadis itu ternyata sudah keburu dinikahi orang lain. Hati lelaki itu hancur. Ia merasakan patah hati untuk pertama kali dalam hidupnya yang masih belia.
Sedangkan kegagalannya yang kedua terjadi ketika lelaki itu baru menginjak usia dua puluh tiga. Ketika itu ia baru saja lulus kuliah dan bekerja di sebuah lembaga pemerintah sebagai seorang pengajar. Gadis yang diincarnya memiliki kesamaan dengan gadis yang pertama. Ia tidak terlalu cantik tapi memiliki kepribadian yang menawan meski usia mereka terpaut cukup jauh: sepuluh tahun!
Benih-benih kegagalan itu bermula dari proses peminangan. Ketika itu, sang gadis tampak menangis. Air mata menganaksungai di pipinya. Lelaki itu bertanya apa yang terjadi dan gadis itu menjawab bahwa sebelum proses lamaran ini ia telah menjalin cinta dengan tetangganya yang merupakan perwira militer. Mendengar pengakuan gadis itu, hati lelaki itu serasa hancur dihantam palu godam. Pertunangan itu pun akhirnya dibatalkan karena lelaki itu tak bisa menahan penderitaan hatinya.
Dalam tahun-tahun kesunyiannya, lelaki itu makin tenggelam dalam kesendiriannya. Ia bahkan sempat melanjutkan studinya ke Amerika melalui beasiswa pemerintah. Meski dikelilingi dengan banyaknya gadis Barat yang cantik, namun hatinya hampa. Ia tetap bergeming dengan kesendiriannya.
Di tanah rantau itulah, semangatnya berislam tumbuh. Ia pun akhirnya memutuskan sebagai aktivis sebuah organisasi islam dan larut di dalam aktivitasnya yang begitu menyita waktu. Saking tersitanya waktu lelaki itu hingga ia tak sempat untuk menikah dan melipurlarakan hatinya.
Waktu berlalu dan lelaki itu lalu pulang ke negara tanah kelahirannya. Usianya sudah lewat kepala empat ketika itu. Di sela-sela kesibukannya yang padat, lelaki itu tetap berharap untuk bisa menikah. Ia pun sempat melakukan proses taaruf dengan seorang wanita. Namun lagi-lagi, peruntungan tidak berpihak kepadanya. Keterlibatannya sebagai aktivis organisasi islam itu membuatnya ditangkap oleh rezim tiran pemerintah. Ia pun dihukum penjara selama lima belas tahun. Masih dalam keadaan membujang. Betapa malangnya.
Sepuluh tahun kemudian, lelaki itu kemudian dibebaskan karena alasan kesehatan. Usianya sudah nyaris enam puluh tahun ketika itu. Meski begitu, ia tetap bertekad kuat untuk menikah dan itulah hal pertama yang dilakukannya setelah keluar dari penjara. Menikah.
Dalam proses pencariannya, kembali ia dipertemukan dengan seorang wanita yang baik. Itu pun setelah ia menjalani proses yang tak mudah, dan tak singkat. Lelaki itu kembali merancang rencananya untuk segera meminang wanita itu. Namun belum sempat lelaki itu menyampaikan niat baiknya, rezim tiran pemerintah kembali menangkapnya karena aktivitas politiknya.
Satu tahun setelah ia menghirup udara kebebasan, lelaki itu kembali dipenjara. Satu tahun kemudian, lelaki itu syahid di tiang gantungan.
Lelaki itu adalah Sayyid Quthb.
Pemikirannya cemerlang dan aktivitasnya di panggung dunia memang gemilang. Tapi tidak dengan kehidupan cintanya. [wahidnugroho.com]
Saaba, Agustus 2016
0 celoteh:
Posting Komentar