Zaman Peralihan. Penulisnya Soe Hok Gie. Penerbitnya Mata Bangsa. Rilis pada bulan Juni tahun 2016. Buku itu baru saja saya beli beberapa waktu yang lalu dari seorang penjual buku di media sosial. Buku yang bagus. Perwajahannya menarik, tataletaknya juga nyaman dibaca. Secara umum, saya suka buku itu. Namun yang terpenting adalah isinya, dan, tak lupa, statusnya yang merupakan buku asli.
Beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli buku-buku Soe Hok Gie dari seorang penjual buku di dunia maya. Sayang, bukunya ternyata palsu. Saya baru tahu ketika buku itu sudah sampai di Luwuk. Saat mengamati perwajahannya yang agak aneh dan tidak rapi, saya langsung yakin bahwa itu buku bajakan. Sayang, sungguh disayang.
Saya tak ingin menuntut kepada sang penjual. Biarlah itu menjadi rezekinya. Buku-buku bajakan itu awalnya ingin saya buang, atau saya bakar. Tapi niat itu urung. Jadilah buku-buku itu tetap saya simpan dan kini statusnya sudah berubah tangan ke pengelola rumah baca saya di Luwuk. Buku bajakan tidak membuat saya berselera membacanya, sebagus apapun isinya.
Ada hal menarik apa di buku Zaman Peralihan itu sehingga saya memutuskan untuk membelinya? Sejujurnya tidak ada. Selama beberapa hari terakhir ini saya membaca tulisan-tulisan di buku itu secara acak dan tidak urut. Dari satu judul melompat ke judul lain yang, tentunya, menggelitik perhatian saya. Saya paling suka tulisan yang berjudul Mendaki Gunung Slamet. Gie memang pencerita yang tekun dan punya selera humor yang bagus.
Lalu, jika bukunya tidak terlalu menarik, atau katakanlah tidak semuanya tulisan yang ada di buku itu menarik, faktor apa yang membuat saya bertahan untuk menekuri tiap-tiap halamannya? Di dalam buku itu, Gie kerap kali mengulang-ulang nama Sukarno, presiden pertama republik ini. Kadang ia menyebut namanya dengan penuh penghormatan dan sebaliknya; tak jarang bahkan Gie berkata sinis dan, agak, apatis. Sayang, buku itu tidak menyediakan daftar indeks. Jika ada, tentu akan sangat menarik jika kita bisa tahu berapa kali Gie menyebut nama Sukarno di buku itu.
Bicara soal Sukarno, saya jadi teringat dengan salah satu tetangga saya di Jurangmangu dahulu. Namanya pakde Yono. Beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Pakde Yono adalah pengagum pak Karno. Di ruang tamunya yang temaram dan beraroma tembakau yang apak, terpampang foto-foto sang Pahlawan Besar Revolusi lengkap dengan pigura dan replika burung garudanya.
Ada dua foto Sukarno berpigura di ruang tamunya, dan keduanya hitam putih. Foto pertama adalah potret wajah sang presiden yang tampak tampan dan masih muda, dan foto kedua adalah potret seluruh tubuh lengkap dengan seragam dan atribut kebesaran beliau. Selain foto Sukarno dan patung garuda, di dinding itu tertempel pula hiasan ayat kursi.
Pakde Yono orangnya pendiam dan kerap kali tampak terlalu serius dalam memandang sesuatu. Meski begitu, beliau orang yang ramah dan murah senyum. Saat tertawa, matanya akan menyipit seperti mata orang Cina, dan suaranya seperti tercekih-cekih karena paru-parunya yang kelewat banyak dijejali asap rokok. Beliau, seingat saya, adalah perokok berat. Almarhum bapak kerap mengingatkan saya ketika berbincang dengan beliau, “Jangan suka mbahas yang ‘merah-merah’, nanti beliau bisa nggak terima.” Rupa-rupanya, pengagum garis keras beliau itu.
Saya tidak terlalu tahu apa latar belakang beliau. Kenangan yang masih saya ingat dari sosoknya yang sudah tua itu adalah aroma tembakau yang kerap tercium dari tubuhnya dan keahlian beliau sebagai tukang cukur rambut. Saya lumayan sering memotong rambut di beliau. Beliau punya sebuah kotak peralatan dari kayu yang tampak sudah sangat tua. Di dalam kotak itu ada gunting logam yang sudah berkarat, sisir plastik berwarna cokelat susu, gunting – yang dulu saya sebut sebagai gunting kodok – yang ujungnya kotak dan sudah tidak terlalu tajam, yang membuat wajah saya meringis ketika beliau menggunakannya sampai-sampai rambut saya tercabut paksa, pisau cukur, busa yang tampak kotor, sikat ijuk, dan bekas-bekas rambut. Tak lupa, sebuah cermin kusam yang ada di koridor ruang tengah ia lepas dan tegakkan bersandar di dinding.
Dulu, di teras rumahnya yang ditumbuhi pohon belimbing, saya duduk di atas sebuah kursi plastik, memakai kain putih berbau apak yang dilingkarkan di leher, menundukkan kepala, memandangi semut-semut yang berbaris menuju sarangnya, sementara pakde Yono memotong helai demi helai rambut saya dengan tekun. Saya masih ingat dengan nafasnya yang pendek-pendek dan berbau tembakau itu serta tangannya yang beberapa kali menelengkan kepala saya ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang. Kadang beliau bertanya rambut saya mau dipotong model apa yang biasanya akan saya jawab agar dipotong mandarin mirip Andy Lau atau bintang film Mandarin yang ketika itu sedang ngetren. Kadang saya meminta beliau untuk memotongnya dengan model tentara yang cepak, dan kadang saya membiarkan beliau memotong sesukanya.
Hasil potongannya tidak terlalu rapih, memang. Ditambah lagi tidak ada pijitan di leher dan di bahu lengkap dengan olesan minyak angin sebagaimana yang saya dapatkan jika memotong rambut di tempat pangkas rambut yang ada di Deplu, misalnya. Tapi saya cukup senang dengan hasilnya dan merasa bahwa usaha yang beliau lakukan sudah maksimal. Beliau juga kerap menolak untuk menerima bayaran sehingga saya terpaksa meletakkan uang begitu saja di atas kotak peralatannya dan langsung menyingkir dari teras itu sesegera mungkin supaya beliau tidak mengembalikan uang itu.
Pakde Yono punya seorang istri yang juga sudah meninggal beberapa waktu yang lalu. Namanya Lastri. Saya biasa memanggil beliau bude Las. Pembawaannya ceria dan beliau memiliki cara tertawa yang bisa mengeluarkan suara yang khas. Wajahnya selalu tampak tersenyum dan suka mencairkan suasana.
Ketika saya masih tinggal di Petukangan, bude Las dan pakde Yono adalah penjual sayur di, sebuah tempat yang dulu kami sebut, kompleks gudang. Selain berjualan sayur, beliau, bude Las, juga berjualan gado-gado dan rujak, biasanya di siang hari usai jualan sayur. Setelah rumah kami di Petukangan kena gusur proyek jalan tol dan berpindah ke Jurangmangu pada pertengahan tahun 1992, pasangan suami istri itu tetap berjualan sebagaimana sebelumnya: sayur, gado-gado, dan rujak buah di bagian depan rumahnya yang luas.
Pasangan suami istri itu biasa keluar rumah pada dini hari untuk berangkat berbelanja sayur dan barang-barang lain di pasar Kebayoran, dan kembali ke rumah selepas subuh. Waktu masih kecil, saya biasa duduk-duduk di warung bude Las, khususnya di siang hari ketika beliau berjualan gado-gado dan rujak. Saya juga biasa memesan gado-gado buatannya yang enak.
Di warung itu, saya selalu memerhatikan cara beliau meracik gado-gado. Dimulai dengan bertanya kepada pembeli mau yang pedas atau tidak, beliau lalu menjumput garam, cabe rawit, dan terasi, lalu menguleknya perlahan. Saya senang sekali mendengar suara ulekan dan layah yang berputar-putar di tangannya. Setelahnya beliau lalu memasukkan kacang tanah yang sudah disangrai dan menguleknya sampai halus, lalu menambahkan irisan gula merah, air asam jawa, dan memotongi kentang rebus supaya bumbunya mengental.
Setelah didapatkan kekentalan bumbu yang diinginkan, beliau mengambil jeruk limau, membelahnya jadi dua, dan memencet salah satunya ke sisi luar layah, dan mengaduknya dengan ulekan dan solet plastik. Prosesi mengaduk bumbu dengan ulekan di tangan kiri dan sodet di tangan kanan itu menciptakan suara yang nyaman di telinga saya. Ketika aroma jeruk limau yang kuat dan segar itu sudah tercampur merata, sayuran rebus pun ditumpahkan ke atas cobek; labusiam, kangkung, tauge; lalu menambahkannya dengan potongan tahu dan tempe goreng. Selesai mengaduk-aduk semua itu, beliau lalu menempatkan gado-gado yang baru jadi itu ke dalam kertas pembungkus, menaburinya dengan bawang goreng yang harum, dan meremukkan kerupuk warna-warni di atasnya.
Kini, pakde Yono dan bude Las sudah tiada. Kehidupan keluarga mereka agak sulit setelah pakde Yono meninggal. Rumah mereka satu-satunya bahkan dijual demi menutupi hutang dan mencukupi kebutuhan hidup. Mamak adalah orang yang memaksa saya untuk membeli setengah bagian dari rumah itu karena setengah bagian lainnya sudah dibeli oleh orang Padang.
“(Tanahnya) dibeli aja, le. Walaupun belum kamu bangun, seenggaknya bude Las bisa lanjut jualan sayur di situ,” pesan mamak beberapa tahun yang lalu. Tanah itu pun akhirnya saya beli dan bude Las beserta keluarganya mengontrak di rumah mbah Kasno yang letaknya persis di depan rumah saya.
Ketika masih hidup, saya kerap menanyakan kabar bude Las lewat mamak dan menitipkan uang yang tak seberapa untuk beliau. Hidupnya tidak mudah dan beliau juga sempat menderita sakit yang tidak ringan. Saya tidak ingin menulis banyak tentang ini karena berkaitan dengan masalah internal orang lain yang meski bukan urusan saya tapi cukup membuat saya terganggu karenanya.
Beliau bahkan sempat mengalami luka bakar yang agak parah karena terkena ledakan tabung gas. Ketika adik lelaki saya mengirimkan foto kondisi beliau yang cukup parah, saya, entah kenapa, menangis sampai sesenggukan. Ternyata hidup perempuan itu di hari tuanya yang seharusnya ia nikmati dengan penuh ketenangan ini begitu sulit dan memilukan hati. Beberapa bulan sebelum beliau meninggal, saya sempat pulang ke Jakarta dan menjenguknya. Senyum itu masih senyum yang sama sebagaimana yang pernah saya lihat di masa kecil dulu. Senyum yang ceria dan ringan di tengah beban hidup yang menghimpitnya sedemikian rupa. Saya sempat menyisipkan uang untuknya dan beliaupun menerimanya sambil meneteskan air mata.
“Nuk, kalau kamu nanti mau mbangun rumah di tanah kosong itu, mamak boleh ngajak bude Las tinggal di situ ya,” pinta mamak beberapa tahun lalu yang langsung saya iyakan tanpa berpikir meski saya tidak tahu kapan tanah itu akan dibangun karena dana yang belum ada.
Kini, di atas tanah kosong yang dulunya merupakan rumah dari bude Las dan keluarganya itu, sudah berdiri rumah kecil yang belum lagi rampung pengerjaannya sampai saat ini. Mamak kerap mengingatkan janji saya beberapa tahun yang lalu mengenai pembolehan bude Las untuk tinggal bersamanya setelah rumah itu rampung seluruhnya. Sayang, pembangunan rumah itu masih tersendat dan bude Las telah lebih dulu berpulang ke pangkuan Ilahi. Sebuah kepulangan yang menyedihkan, mungkin, sekaligus meringankan karena beliau tak lagi memikirkan beban yang berat yang memeras-meras kehidupannya.
Pakde Yono dan bude Las adalah dua nama yang telah menghilang di komplek gusuran jalan tol dari Petukangan setelah saya berangkat merantau ke Luwuk sembilan tahun yang lalu. Dalam kurun waktu yang panjang itu, selain beliau berdua, tentu saja, ada bapak saya sendiri, tante Padang, pakde Surip, mbak Tini, mbah Bibit, mbah Harjo, mak Wo, Cakra, dan wajah-wajah lain yang dulu pernah saya dapati dan temui namun kini sudah tidak lagi. Entah karena terhentinya usia atau karena mereka yang dulunya masih kecil dan kini sudah beranjak dewasa.
Tidak hanya soal begitu banyak wajah-wajah yang sudah menghilang, tapi juga sebentuk kenangan akan awal mula tempat ini ketika pertama kali saya tinggali dulu sudah terkubur di atas rumah-rumah yang saling berhimpit dan lorong-lorong yang makin menyempit. Tempat-tempat yang dulunya hanya padang ilalang tempat saya berburu belalang aneka warna dan tertancap paku karatan, kini telah berubah menjadi bangunan-bangunan yang megah. Jalanan becek bertanah merah yang kerap membuat ban bajaj milik mbah Kasno tergelincir sudah berganti dengan jalanan beton, lapangan-lapangan tempat saya dulu biasa bermain layangan dan menonton layar tancap sudah hilang. Betapa rapuhnya hidup ini. Betapa lemahnya genangan kenangan di hadapan sang waktu yang cepat berlalu.
Hidup memang tidak melulu bicara soal pertemuan dan kebersamaan, tapi juga soal perpisahan dan kehilangan. Datang dan pergi, manusia berpusar menjemput nasib dan takdirnya masing-masing. Kalau sudah begini, saya jadi teringat dengan sajak milik almarhum Rendra ini.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
Saaba, Juli 2016
(Belum bisa tidur)
Rabu, 14 September 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar