Jalan
raya Cipondoh malam ini relatif lancar. Sebagaimana hari jumat yang
lain, jumat kali ini saya menyengaja pulang agak terlambat dari hari
biasanya. Lepas dari pertigaan Situ Cipondoh yang ramai, saya melajukan
motor dengan kecepatan perlahan. Perempatan Polsek Cipondoh yang
biasanya padat pun kini tampak lancar.
Tak jauh dari perempatan itu, di sebelah kiri jalan tepat di depan
sebuah warung kelontong, saya melihat sebuah gerobak kayu yang
terparkir di pinggir jalan. Asap tipis membumbung dari atas
permukaannya. Di bagian tengah gerobak itu ada lampu petromaks dan di
sekeliling lampu itu tersebar aneka jenis kacang seperti kacang tanah
dan kacang bogor. Aroma uap kacang rebus yang manis bercampur baur
dengan aroma asap knalpot dari kendaraan yang lalu-lalang di sekitarnya.
Pemilik gerobak itu adalah seorang anak muda berusia sekira sembilan
belas atau duapuluh tahun. Kacang-kacang rebus yang ada di gerobak itu
jualannya.
Melihat seorang penjual kacang rebus lengkap dengan
lampu petromaksnya di pinggir jalan itu membuat saya jadi teringat
sesuatu dari masalalu: layartancap. Disadari atau tidak, pemandangan
seorang penjual kacang rebus adalah hal yang lazim ditemui dalam
tanggapan layartancap dan juga di pesta-pesta di sudut-sudut kampung
Jakarta dan di beberapa wilayah pinggirannya.
Dulu, saya belum
kenal dengan kacang bogor yang berbentuk bulat itu. Selain kacang
tanah, biasanya kacang yang juga dijual disitu adalah kacang kedelai
berwarna hijau pucat. Penjualnya biasa membungkus kacang-kacang itu ke
dalam potongan kertas koran yang dibentuk seperti kerucut terbalik,
mengisi kacang-kacang itu di dalamnya dan menutup bagian atasnya.
Bentuknya mirip dengan eskrim merk tertentu, hanya saja isinya kacang
rebus.
Kacang rebus paling enak dinikmati bersama segelas teh
pahit atau kopi. Bagi perokok, sebatang dua batang rokok wajib ada.
Apalagi kalau dimakan sambil nonton pertandingan sepakbola di televisi,
atau sekedar main catur sampai larut malam. Atau sambil nonton
layartancap. Harganya murah meriah. Cocok buat kaum menengah ke bawah
yang butuh cemilan saat nonton film gratisan.
Ngomong-ngomong
soal layartancap, sebagai orang yang mengalami tumbungkembang di era
sembilanpuluhan, saya lumayan sering berburu layartancap pada masa
jayanya yang biasanya nyaris selalu ada setiap akhir pekan itu. Dulu,
waktu lapangan di belakang rumah saya di Jurangmangu masih ada dan belum
disesaki rumah, di situlah orang-orang Betawi yang ada di kampung
Pondok Betung dan sekitarnya menggelar layartancap. Kadang di lapangan
yang agak ke bawah, yang berbatasan dengan komplek pajak, dan kadang
layartancapnya ditanggap persis di belakang rumah saya. Saya bahkan
pernah berburu layartancap sampai kampung tetangga. Layartancap terjauh
yang pernah saya sambangi ketika itu di daerah Cipadu yang sekarang
sudah jadi pasar kain, padahal daerah situ dulu kebanyakan cuma kebun
singkong. Saya juga pernah nonton layartancap di daerah Bulak Wareng
(Jalan Pesantren) yang dulu masih dipenuhi rawa-rawa dan tanah kosong.
Layartancap biasanya ditanggap ketika ada pesta pernikahan atau
sunatan. Bagaimana cara mengetahui bahwa di suatu kampung akan ditanggap
layartancap? Gampang. Ketika pagi-pagi ada bunyi ledakan petasan teko
dan sebangsanya, maka bisa dipastikan di daerah sekitar dipasangnya
petasan itu akan ada pesta. Dan dimana ada orang Betawi yang bikin
pesta, maka kemungkinan besar malamnya bakal ada layartancap.
Layartancap biasa berlangsung di tanah kosong, atau di lahan menganggur
yang agak luas. Pernah juga di pelataran sekolah. Bahan-bahannya
sederhana. Sebuah kain putih polos berukuran sekira tiga kali enam meter
dibentangkan di antara dua buah bilah bambu besar yang dipancangkan di
atas lubang. Mungkin nama layartancap berasal dari situ: sebuah layar
ditancapkan di atas lubang lalu disorot oleh proyektor yang berjarak
sekira sepuluh atau lima belas meter dari tempat ditancapkannya layar
yang memainkan pita film yang digulung ke dalam alat berbentuk roda.
Karena fasilitasnya serba antik, maka jangan harap kualitas filmnya
bisa HD. Zaman itu, teknologi HD belum lahir. Maka jadilah layar sebesar
itu diterobos oleh film beresolusi rendah yang sudah pasti kurang
nyaman ditonton. Apalagi kalau pita filmnya rusak di bagian yang lagi
seru-serunya, bisa berabe urusannya. Tapi namanya juga gratisan, jadi
apa yang ada maka dinikmati sebisanya.
Sebagai mantan penikmat
layartancap, saya kadang merasa aneh sekaligus takjub, kenapa di setiap
pemutaran layartancap nyaris tidak pernah hujan. Ternyata, ada unsur
nonteknis yang bermain. Empuhajat biasanya menyewa seorang pawang hujan
supaya tidak turun hujan sepanjang pesta dan acara layartancap atau
orkes. Tapi pernah juga ketika saya nonton layartancap hujan justru
turun; membubarkan para penonton dan beberapa pedagang-tanpa-terpal yang
mangkal di sekitar tempat itu. Tiang layartancap yang bergerak-gerak
ditiup angin, seolah memanggil para penonton agar jangan beranjak meski
hujan tak kunjung reda.
Di sekitar tempat layartancap,
biasanya mangkal banyak penjual; mulai dari penjual bakso, mie ayam,
ketoprak, laksa, soto mie, kacang rebus, jagung rebus, tahu garang, uli
bakar, bajigur, sampai arena judi koprok alias judi dadu. Dulu, karena
penggunaan genset dan lampu darurat belum seramai sekarang, lapak-lapak
dadakan itu biasanya memasang lampu badai atau lampu templok, atau
petromaks, bahkan ada yang hanya memasang lilin di dalam gelas kaca atau
gelas plastik. Suasana yang temaram itu membuat suasana di sekitar
layartancap jadi lebih fokus karena tidak terpapar banyak cahaya.
Ditambah lagi kerja copet jadi lebih ringan dan leluasa. Apalagi buat
pasangan yang berniat cabul dengan biaya dan resiko yang minim.
Pemandangan di area layartancap itu cukup menyenangkan untuk dilihat.
Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan dandanan yang
rapijali dan aroma mereka yang wangi. Segerombolan gadis berusia
tanggung dengan dandanan menor melewati seorang penjual mie ayam dengan
berisik. Beberapa pemuda bertampang preman dan berpenampilan lusuh
berkumpul di sebuah sudut lapangan. Asap rokok mengepul-ngepul dari
kawanan itu. Suara teriakan bersahut-sahutan dari tempat judi koprok,
semuanya berbaur jadi satu dengan alunan musik dangdut dari pengeras
suara di bawah tenda hajatan. Manusia seperti kerumunan lalat:
berdengung-dengung, hilir-mudik, dan berisik.
Ketika cuplikan
film satu demi satu diputar di layar putih yang berkibar-kibar ditiup
angin, kerumunan yang mulanya berisik itu berangsur tenang. Biasanya,
film yang mula-mula diputar adalah film India, atau yang belakangan
disebut Film Bollywood. Aktor-aktor film India lawas semisal Ajay
Devgan, Amitabhacan, Mithun Cakraborty, Jeetendra, Sunny Deol, Govinda,
Salman Khan, Sanjay Dutt, dan Anil Kapoor adalah sebagian kecil nama
yang wara-wiri bergantian di layar dadakan. Jangan lupakan sosok Amrish
Puri yang wajahnya akrab dengan dunia kejahatan dan nyaris selalu
berperan sebagai Tuan Takur, Tuan Sankar, atau inspektur polisi culas
yang jahatnya nggak ketulungan. Seorang aktor yang di ranah lokal
mungkin hanya bisa diimbangi oleh Torro Margens, atau Tio Pakusadewo di
era belakangan. Yang cantik-cantik ada Pooja Bhat, Juhi Chawla, Madhuri
Dixit, Aishwarya Rai, dan masih banyak lagi. Dan aktris India favorit
saya ketika itu, sudah pasti, Sridevi.
Setelah puas joget-joget
dan nyanyi-nyanyi, film selanjutnya yang diputar biasanya adalah film
barat dan nyaris selalu ada adegan perang dan tembak-tembakan. Atau film
silat semacam Satria Madangkara, Brama Kumbara, Angling Darma, Rawing,
Saur Sepuh, dan semisal itu. Atau juga film silat Tiongkok dan film
horor. Beranjak malam dan anak-anak sudah tidur, film yang diputar
bergeser dikit ke genre dewasa. Film-film semi lokal dan barat biasa
yang jadi pilihan. Kadang juga film horor yang dibintangi oleh mendiang
Suzanna. Soal film semi, dulu istilah yang saya dengar adalah film
panas. Judul-judul semisal Gairah Malam, Gadis Metropolis, Getaran
Nafsu, Permainan Terlarang, dan sebagainya adalah beberapa contoh.
Judul-judulnya memang tidak jauh-jauh dari kata-kata gairah, nafsu,
penyimpangan, kenikmatan, dan semisal itu. Isi filmnya tidak perlu
dijelaskan.
Kalau film jenis ini sudah diputar, biasanya
kerumunan penonton langsung bersorak riuh. Saya masih ingat ketika film
yang dibintangi oleh Frank Zagarino dan Ayu Azhari menampilkan adegan
yang membuat jakun lelaki naik turun dan hati berdegup kencang itu
tayang, sorakan dan teriakan penonton makin menjadi-jadi. Sebagian malah
ada yang bertepuk-tangan. Mungkin mereka yang girang bukan kepalang itu
bersyukur bisa menonton adegan langka yang sudah pasti tidak lolos
pisau sensor itu ditayangkan apa adanya, dan gratisan pula.
Tapi kalau yang diputar hanya film-film biasa – maksudnya bukan film
panas dan film aksi barat, bahkan sepanjang malam hanya film India yang
diputar, biasanya penonton akan mencibir dan berteriak huu ketika film
baru berganti dan tidak sesuai dengan ‘selera’ mereka. Sebagian akan
pulang dan menyingkir dari tempat itu sambil mengumpat “Filmnya jelek”
karena menurutnya hanya film-film panas yang dinilainya sebagai “Film
bagus”. Sementara para gadis bersyukur karena film yang diputar tidak
membuat pasangan labil mereka bertindak lebih jauh malam ini karena
nafsu kesumat akibat adegan-adegan syur itu.
Masa kecil saya,
dan mungkin sebagian eks remaja di era sembilanpuluhan memang tidak
selalu berjalan mulus dan berlangsung lurus. Dulu bahkan saya pernah
melihat ada transaksi majalah dan kartu remi porno di bawah pohon
rambutan di dekat layartancap yang diadakan di sebuah kampung. Sebagai
anak kecil yang selalu ingin tahu, saya pun ikut melongok sebentar ke
transaksi gelap itu – yang memang berlangsung di tempat yang gelap – dan
mendapati sebuah gambar yang seharusnya tidak saya lihat di beberapa
halamannya yang terpapar sinar lemah dari pantulan layartancap.
Kebengkokan-kebengkokan seperti itu rasa-rasanya perlu saya jadikan
sebagai pelajaran hidup, bahwa anak-anak dengan segala rasa ingin
tahunya perlu didampingi dan diberikan penjelasan yang memadai.
Anak-anak jaman dulu, meski sebagian di antara mereka banyak terpapar
tontonan-tontonan cabul, ternyata tidak berani melakukan perbuatan yang
bisa menodai kehormatan perempuan, apalagi sampai menghilangkan nyawa
mereka. Tiba-tiba saja saya jadi teringat dengan kasus-kasus asusila
yang marak terjadi di zaman kiwari ini, yang, ironisnya, justru
melibatkan anak-anak yang seharusnya hanya menjadikan tontonan tak layak
itu sebagai kisah klasik yang hanya untuk ditertawakan di masa depan.
Bicara soal film-film yang diputar di layartancap, ternyata berhubungan
dengan anggaran yang disediakan pemilik hajat. Kalau anggarannya agak
besar, maka film-film yang tayang juga bagus-bagus. Minimal film-film
terbaru yang hanya ada di versi disketlaser. Tapi kalau anggarannya
terbatas, maka yang ditanggap adalah film-film lawas dan kadang bukan
film yang terkenal.
Film biasanya diputar mulai jam delapan dan
berakhir sekira jam empat pagi ketika rekaman pengajian dan solawatan
diputar di masjid-masjid. Karena tidak kuat begadang, saya biasanya
menonton film layartancap hanya sampai jam duabelas malam. Kalau terlalu
malam, pintu rumah sudah dikunci dan saya terancam dimarahi mamak.
Tapi pernah suatu hari, ketika masih SD, saya sengaja nongkrong agak
lama di lokasi layartancap. Waktu itu, layartancapnya ditanggap di jalan
Bambu, di sebuah lapangan kecil yang sekarang sudah jadi deretan ruko.
Berbekal koran dan kardus bekas yang saya pakai sebagai alas duduk, saya
berbaring tengkurap di lapangan kecil yang berangsur sepi ketika malam
makin larut itu sambil memandangi langit yang bersepuh kerlap-kerlip
bintang. Sementara jalan Cipadu Raya sudah lengang. Suara film yang
diputar di layartancap perlahan menghilang, larut dalam lamunan dengan
dagu tertopang. Sebuah meteor berekor melintas cepat di ufuk barat,
meninggalkan jejak api yang ditelan langit gelap. Barangkali itu adalah
momen pertama saya mengamati langit malam menjelang pagi tanpa merasa
terganggu dengan keadaan yang ada di sekeliling saya yang berbau
campuran asap tembakau, parfum murahan, dan uap bakso.
Sekarang, rasa-rasanya sudah jarang ditemui empu hajat yang menanggap
layartancap. Paling banter orkes dangdut sebagaimana yang dilakukan
beberapa tetangga Betawi saya yang belum lama ini mengadakan hajatan.
Mungkin karena lahan kosong juga sudah terbatas dan telah berubah bentuk
menjadi perumahan dan cluster-cluster kecil. Mungkin juga karena
kecanggihan teknologi yang makin memudahkan para pemakai mendapatkan
hiburan yang mereka inginkan tanpa harus berdesak-desakan dan kaki
digigiti nyamuk malam dan bisa nonton film tanpa khawatir pitanya macet
dan mesinnya ngadat. Mungkin ada sebab lain yang tidak saya ketahui apa
dan bagaimananya.
Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa
para pelaku industri perfilman berhutang cukup banyak dengan hiburan
murah ala kaum proletar urban ini. Kapan lagi ada momen dimana semua
orang dari beragam lapisan masyarakat berkumpul di satu tempat dalam
durasi yang cukup panjang hanya dengan bekal koran dan kardus bekas
sebagai alas duduk, lalu mereka tertawa, menelan ludah, dan mendapatkan
hiburan dengan nyaris tanpa biaya.
Setelah mencatat sepanjang
ini, saya baru tersadar, bahwa aroma kacang rebus yang manis, yang saya
dapati di pinggir jalan raya Cipondoh itu, bisa membuat saya terkenang
dengan banyak hal. [wahidnugroho.com]
Cikokol, Mei 2016
Rabu, 14 September 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar