Saat
menerima hadiah nobel sastra pada tahun 2006, Orhan Pamuk, novelis asal
Turki yang ketika itu keluar sebagai pemenang, memberikan sebuah pidato
berjudul Babamın Bavulu atau My Father's Suitcase. Pidato itu kemudian
ditranskrip dan dimasukan ke dalam bagian akhir dari buku kumpulan
esainya yang berjudul Other Colors. Sayang, buku bagus itu belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
meski transkrip pidato itu sudah diterjemahkan dan diterbitkan secara
kolektif dalam buku bagus berjudul Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum.
My Father's Suitcase adalah tulisan yang sangat menyentuh. Juga
emosional. Dan mengharukan. Dalam tulisan (atau pidatonya) itu, Pamuk
menjelaskan perihal peran sang ayah yang cukup signifikan dalam proses
perkembangan dirinya yang pada awalnya ingin menjadi pelukis hingga
akhirnya menjadi seorang sastrawan berpengaruh di Turki dan dunia ketika
itu. Ayahnya pulalah yang menjadi pembaca pertama draft novel Pamuk
yang berjudul Cevdet Bey and His Sons.
Dalam upayanya
mengenang kembali sosok ayahnya yang telah berpulang, Pamuk mewakilinya
melalui sebuah benda berwujud koper yang diwariskan oleh sang ayah dua
tahun sebelum dirinya berpulang. Dari koper tersebut, narasi kemudian
berkembang dan para pembaca diajak terhanyut oleh gaya khas Pamuk dalam
berceritera mengenai sekelumit perjalanan hidupnya hingga menjadi salah
satu sastrawan berpengaruh dunia.
Sebandung dengan Pamuk, ada
Rusydi Hamka. Putra ke dua dari Buya Hamka ini juga pernah membuat
sebuah tulisan yang sangat emosional tentang ayahnya. Tulisan itu
berjudul Tongkat-Tongkat Buya dan terdapat pada bagian awal buku yang
berjudul Pribadi dan Martabat. Sebuah buku yang muncul tak lama setelah
Buya Hamka berpulang untuk selamanya.
Jika Pamuk menggunakan
koper sebagai perwakilan sosok ayahnya, maka Rusydi menggunakan tongkat,
sebuah benda yang sangat lekat dengan sosok ulama yang terkenal dengan
ketegasannya itu.
Tongkat-Tongkat Buya adalah tulisan yang
sangat indah. Bagaimana seorang anak mencoba untuk membunuh rasa rindu
kepada ayahnya yang sudah berpulang dengan mengenang tongkat-tongkat
milik sang ayah yang sebagian besar masih tersimpan rapi di rumah. Kisah
tentang kedatangan misionaris, pencuri yang bertaubat, dan ketegangan
dengan seorang arab berbadan besar menggarami kenangan itu sehingga
terasa lebih nikmat, yang, ironisnya, justru membuat rasa kehilangan itu
begitu dalam dan menganga.
Saya tidak malu untuk mengakui
bahwa membaca dua tulisan itu membuat pelupuk mata saya menghangat.
Karena bagaimanapun, bapak saya juga sudah berpulang dan meninggalkan
sebentuk ruang kosong yang begitu besar di dalam hati dan jiwa saya;
sampai saat ini. Rasa kehilangan meski bisa diinsyafi dengan memandangi
barang-barang peninggalannya, tetap tak bisa membunuh rasa rindu yang
kadung berakar kuat di dalam dada.
Mungkin itu alasannya kenapa
mamak (ibu) saya masih menyimpan setangan milik bapak dan tidak pernah
mencucinya selama bertahun-tahun meski setangan itu dahulu pernah
dipakai untuk membersihkan keringat bapak di ujung usianya. Karena
dengan cara itulah, memandangi dan menyentuh setangan berbau apak itu,
mamak sedang berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa mendekatkan jiwanya
yang sendu dengan sosok bapak yang sudah meninggalkannya sembilan tahun
yang lalu.
Kehilangan, ternyata, sedemikian menyakitkannya. [wahidnugroho.com]
Saaba, September 2016
Minggu, 11 September 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kita semua, terutama yang telah kehilangan ayah sangat merindukan beliau.
BalasHapus