Seseorang bertanya kepada saya tentang apa makna sebenarnya dari menikah? Jawaban klisenya: menikah adalah ibadah. Tapi jika redaksi ‘ibadah’ masih terlalu mengawang-awang dan terkesan berat, maka saya akan berikan opsi selanjutnya: bahwa menikah adalah niat baik.
Ketika sepasang anak manusia hendak memasuki sebuah jenjang pernikahan, maka yang melandasi semuanya itu, seharusnya, adalah niat baik. Bahwa saat saya menikahi seorang wanita, maka tentulah saya berniat untuk membangun sebuah keluarga yang baik. Sudah pasti saya akan menjadikan keluarga saya sebagai anggota masyarakat yang baik dan bisa mendistribusikan kebaikan itu kepada sekitar.
Mustahil kiranya orang menikah dengan tujuan yang tidak baik, apalagi untuk merugikan orang lain. Jika memang kemungkinan ini ada, maka yang terjadi di antara keduanya bukanlah pernikahan. Pernikahan tidak mengakomodasi kemungkinan semacam itu.
Oleh karena menikah adalah niat baik, maka menyiapkannya pun juga perlu dengan cara yang baik. Demikian pula dalam menjalaninya. Niat baik laiknya didukung dengan ikhtiar yang baik pula. Karena jika tidak demikian, maka niat baik itu cenderung mengundang fitnah dan potensi keburukan bagi kedua belah pihak.
Maka modal utama dalam sebuah pernikahan, menurut saya, ada empat: semangat pengabdian, semangat belajar tanpa lelah, semangat berbagi tanpa henti, dan mengedepankan prasangka baik. Dengan menikah, maka kita meniatkannya sebagai bagian pengabdian kita kepadaNya. Dengan menikah, maka kita seolah memasuki sebuah universitas peradaban, tempat kita saling menyempurnakan dan memperbaiki satu sama lain. Dengan menikah, maka kita selalu menempatkan diri sebagai orang yang siap berbagi, baik itu dengan pasangan hidup maupun dengan anak-anak yang menjadi tanggungan kita kelak. Dengan menikah, maka itu artinya kita mengedepankan prasangka baik dan saling menerima kekurangan masing-masing seraya memperbaikinya secara berkesinambungan.
Menikah adalah niat baik. Kebaikan meliputi semua aspek ruang dan waktunya. Kebaikan saat mengawali, kebaikan saat menjalani, dan kebaikan saat mengakhiri. Menikah adalah niat baik. [wahidnugroho.com]
Meruya, Agustus 2017
Ketika sepasang anak manusia hendak memasuki sebuah jenjang pernikahan, maka yang melandasi semuanya itu, seharusnya, adalah niat baik. Bahwa saat saya menikahi seorang wanita, maka tentulah saya berniat untuk membangun sebuah keluarga yang baik. Sudah pasti saya akan menjadikan keluarga saya sebagai anggota masyarakat yang baik dan bisa mendistribusikan kebaikan itu kepada sekitar.
Mustahil kiranya orang menikah dengan tujuan yang tidak baik, apalagi untuk merugikan orang lain. Jika memang kemungkinan ini ada, maka yang terjadi di antara keduanya bukanlah pernikahan. Pernikahan tidak mengakomodasi kemungkinan semacam itu.
Oleh karena menikah adalah niat baik, maka menyiapkannya pun juga perlu dengan cara yang baik. Demikian pula dalam menjalaninya. Niat baik laiknya didukung dengan ikhtiar yang baik pula. Karena jika tidak demikian, maka niat baik itu cenderung mengundang fitnah dan potensi keburukan bagi kedua belah pihak.
Maka modal utama dalam sebuah pernikahan, menurut saya, ada empat: semangat pengabdian, semangat belajar tanpa lelah, semangat berbagi tanpa henti, dan mengedepankan prasangka baik. Dengan menikah, maka kita meniatkannya sebagai bagian pengabdian kita kepadaNya. Dengan menikah, maka kita seolah memasuki sebuah universitas peradaban, tempat kita saling menyempurnakan dan memperbaiki satu sama lain. Dengan menikah, maka kita selalu menempatkan diri sebagai orang yang siap berbagi, baik itu dengan pasangan hidup maupun dengan anak-anak yang menjadi tanggungan kita kelak. Dengan menikah, maka itu artinya kita mengedepankan prasangka baik dan saling menerima kekurangan masing-masing seraya memperbaikinya secara berkesinambungan.
Menikah adalah niat baik. Kebaikan meliputi semua aspek ruang dan waktunya. Kebaikan saat mengawali, kebaikan saat menjalani, dan kebaikan saat mengakhiri. Menikah adalah niat baik. [wahidnugroho.com]
Meruya, Agustus 2017