Istri mengabari saya tentang Azka yang menangis di sekolah karena dibohongi oleh teman sekelasnya. Buku yang sedang saya baca lalu saya beri penanda dan saya tutup sementara.
"Saking kesalnya dia, bukunya sampai dia robek-robek, bi," ujar makhluk cantik itu merinci situasi.
"Dia sebenernya udah diingetin sama temen-temennya yang lain supaya jangan berteman sama dia (yang bohongin dia itu)."
Tambahan informasi lagi.
"Panggil kesini anaknya," kata saya.
Saya lalu bertanya kepadanya perihal situasi yang tadi dihadapinya di sekolah, bagaimana ia meresponnya, dan tentang progres pertemanannya dengan si pembohong itu. Ia menjawabnya dengan tenang, nyaris tanpa emosi.
"Dia cuma bercanda, bi. Tapi mbak Azka nggak suka bercanda yang kayak begitu."
Saya menyimak.
"Tapi mbak Azka udah maafin dia kok, bi," ujarnya serius.
Saya lalu menyumbang saran padanya.
"Ini saran dari abi buat kamu. Besok kamu bilang ke, siapa tadi nama temanmu itu.."
Ia menyebut sebuah nama.
"Nah, sama dia, bahwa kamu akan maafin dia atas apa yang terjadi kemarin. Tapi kamu bilang juga ke dia bahwa kamu nggak akan percaya lagi apa katanya."
"Tapi kalau yang dia bilang itu bener gimana, bi?"
"Sebelum dia bohongin mbak Azka, dia juga bilang kalau yang dia bilang itu bener, kan?"
Ia tampak berpikir.
Saya sudah menyampaikan. Tentang bagaimana ia akan memutuskan bersikap, saya serahkan sepenuhnya padanya. [wahidnugroho.com]
Meruya, Agustus 2017
Sabtu, 26 Agustus 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 celoteh:
Posting Komentar