Sabtu, 26 Agustus 2017

Cerita Tentang Harapan

Ia memang bukan yang pertama, dan ia tahu betul soal itu. Sebelum takdir mempertemukan kami berdua dalam ikatan pernikahan, saya terlebih dulu berproses dengan gadis lain yang kesemuanya berujung pada kegagalan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tapi tiga kali. Tapi saya tidak akan merinci kegagalan-kegagalan itu di tulisan ini.


Saya lalu merenung tentang faktor yang membuat saya gagal berproses dengan gadis-gadis yang baik itu. Lama saya merenung sampai akhirnya saya menemukan satu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni harapan. Saya sadar, bahwa saya lalai telah menggantungkan harapan berhasil tidaknya proses taaruf itu kepada selainNya.


Padahal, proses taaruf, kata Mohammad Fauzil Adhim, adalah proses yang sangat sensitif. Sedikit saja terjadi penyimpangan meski dalam skala niat yang paling halus sekalipun, bisa menjungkirkan jalannya proses ke jurang kegagalan. Dan hal itulah yang terjadi pada ketiga proses taaruf saya yang dahulu tak berlanjut ke jenjang yang lebih serius; karena saya berharap terlalu banyak pada ikhtiar manusia.


Saya tidak pernah menyalahkan siapapun atas kegagalan-kegagalan itu kecuali menaruhnya di pundak saya sendiri. Yang salah bukanlah para ustadz dan ustadzah yang menjadi perantara, bukan pula sang gadis dengan keluarganya. Bukan. Yang salah adalah saya sendiri. Sayalah yang menanggungnya. Inilah yang menjadi titik tolak perubahan sikap saya ketika itu hingga akhirnya Allah memberikan saya kesempatan selanjutnya, yakni proses yang keempat.


Proses keempat, yakni proses yang berlangsung antara saya dengan istri saya saat ini, ternyata berbeda. Ketika kabar tentang seorang gadis yang siap dinikahi itu datang, jiwa dan pikiran saya terasa jauh lebih ringan. Saya tidak membuat prasangka apapun terhadap proses ini, termasuk kepada sosoknya yang saya belum tahu dengan pasti itu. Saya niatkan jalannya proses ini, seluruhnya, sesuai dengan kehendakNya. Saya berpasrah sepenuhnya.


Maka proses itu berlangsunglah dan Allah pun menunjukkan kuasaNya satu demi satu kepada proses itu. Kemudahan-kemudahan yang saya dapatkan, keringanan-keringanan yang saya terima, dan kelapangan-kelapangan yang saya alami sepanjang jalannya proses taaruf kemudian menjadi bukti sahihnya. Dan keinsafan saya atas semua bukti itu terjadi dalam jarak yang sangat personal.


Saya selalu percaya bahwa yang mustahil menuai kecewa adalah mereka yang tak pernah menanam harap. Dan menggantungkan harapan kepada Dia Yang Maha Berkehendak, membuat saya tak layak merasa kecewa sedikit pun dengan apapun keputusanNya.


“Kamu tahu, apa yang membedakan proses taarufku bersamamu dibandingkan dengan proses taarufku dengan yang sebelumnya?” tanya saya suatu hari kepadanya.


Kepala yang cantik itu menggeleng anggun.


“Bedanya pada harapan,” saya memulai cerita. Ia lalu mendekat.


Saya lalu menceritakannya sebagaimana yang telah saya tulis di atas dan kepala yang cantik itu pun semakin mendekat. Rapat. [wahidnugroho.com]



Meruya, Agustus 2017
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar