Anak-anak melakukan kesalahan. Suatu hal yang wajar. Yang sudah diketahui adalah bahwa kesalahan itu dilakukan karena ketidaktahuan mereka. Ketidaktahuan itu ada di lapis pertama, sedangkan lapis keduanya adalah karena keingintahuan mereka. Ketidaktahuan yang melahirkan keingintahuan. Yang belum diketahui adalah satu: potensi risikonya seperti apa.
Yang terjadi kemudian adalah anak-anak melakukan eksperimen untuk mengkonversi ketidaktahuan mereka menjadi keingintahuan. Dari eksperimen itu lahir pengetahuan dan pengalaman. Kadang pengalaman yang didapat terlebih dulu, kadang pengetahuan yang mendahului pengalaman. Kadang keduanya datang secara bersamaan.
Ketika anak-anak berbuat kesalahan, baik dari segi perkataan maupun tindakan, saat melakukan eksperimen itu, maka orangtua yang bijak adalah mereka yang bisa menyiapkan respon atas kesalahan itu dengan sebaik-baik kualitas. Jangan sampai respon kita selaku orangtua memberangus rasa ingin tahu mereka, termasuk semangat bereksperimen mereka, sampai ke akar-akarnya.
Kemampuan mengelola respon adalah bagian paling awal dari mitigasi risiko atas eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh anak-anak kita.
Mori Ranmaru adalah pelayan marga Oda. Ia dipelihara oleh Nobunaga sejak kecil dan menjadi salah satu pelayan kesayangan yang sangat dipercayainya. Meski mendapat limpahan kasih sayang dari Nobunaga, Ranmaru kerap dikritik karena sifatnya yang kelewat berterus-terang. Bahasa kekiniannya: mulutnya terlalu
nyablak. Ia tidak bisa menahan komentarnya terhadap dinamika yang sedang terjadi di sekitarnya. Padahal, di zaman yang sedang dilanda kekacauan ketika itu, menjadi orang yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam adalah sifat yang sangat terpuji, terlebih jika objek pembicaraan itu adalah informasi yang sangat sensitif.
Sifat Ranmaru yang kelewat berterus-terang dan sulit menahan omongan itu diredaksikan oleh penulis Taiko, Eiji Yoshikawa, sebagai sifat seorang perawan yang sedang jatuh cinta, di mana pipinya mudah bersemu merah saat bersua dengan orang yang dicintainya. Perawan dijadikan sebagai simbol oleh Yoshikawa-
sensei sebagai orang yang tidak mampu mengelola respon yang logis ketika mereka dikuasai emosi.
Menjadi orangtua berarti menjadi orang yang mampu untuk belajar mengelola responnya. Respon terhadap apapun, baik yang disukai maupun yang tidak, yang dilihat dari sosok anak-anak mereka. Respon dan cara kita mengelola respon adalah dua hal yang berbeda.
Suatu ketika, ada seorang pemuda yang mendatangi kanjeng Nabi dan berkata bahwa ia hendak meminta izin kepada beliau untuk berzina. Para sahabat yang mendengar perkataan itu langsung marah dan hendak memukuli pemuda itu karena kekurangajarannya. Namun tidak demikian dengan Rasulullah.
Ketika pemuda itu selesai menyampaikan maksudnya, Rasulullah menyuruh pemuda itu mendekat dan berkata padanya dengan intonasi suara yang lembut.
"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada ibumu?"
Pemuda itu terkejut mendapat respon seperti itu dari Rasulullah.
"Tidak ya Rasulullah."
"Demikian juga orang lain."
Ketika pemuda itu bungkam, Rasulullah melanjutkan.
"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada putrimu?"
Kepala pemuda itu makin terbenam.
"Demi Allah tidak, ya Rasulullah."
"Demikian juga orang lain."
Dan sebagai pertanyaan pamungkas, Rasulullah berkata kepadanya.
"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu?"
"Demi Allah tidak, ya Rasulullah!"
Bergetar suara pemuda itu sementara para sahabat yang ada di situ hanya bisa diam menyimak.
"Demikian juga orang lain."
Apa yang terjadi jika Rasulullah ketika itu menghardik pemuda itu atau membiarkan para sahabat memukulinya? Saya tidak tahu. Namun sejarah berkata bahwa Rasulullah telah mampu mengelola respon atas eksperimen (yang dalam hal ini negatif) yang ingin dilakukan oleh salah seorang sahabatnya. Umatnya.
Respon dan cara kita mengelola respon adalah dua hal yang berbeda. Menjadi orangtua berarti harus mampu belajar membedakan keduanya. [wahidnugroho]
Meruya, September 2017